SELAMAT DATANG

BLOG INI HANYA UNTUK ORANG DEWASA DAN KENTIR

Rabu, 24 Februari 2010

WAHABI

Kebangkitan Kaum Puritan – Sejarah Asal Usul Wahabi
Ditulis oleh orgawam di/pada November 29, 2009
Tulisan ini kami ambil dari buku “The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist“, karya Khaled M. Abou El Fadl, seorang professor hukum islam di UCLA, AS. Dari Terjemahannya yang berjudul “Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terbitan Serambi. Saya ambil dari Bab 3. Sedikit saya edit dengan menambahkan sub judul dari alenia-alenia yang panjang, serta catatan kaki saya sertakan langsung di dalam tulisan agar lebih jelas diikuti.

ASAL-USUL KAUM WAHABI
SEJARAH ISLAM puritan seharusnya lebih tepat dimulai dari kaum Wahhabi. Bahkan setelah peristiwa 11 September 2001 dan dunia tersadar akan kekerasan yang dilakukan al-Qaeda, dampak kaum Wahhabi terhadap pemikiran Islam modern tak mungkin diukur. Kaum Wahhabi jelas-jelas telah memengaruhi setiap gerakan puritan di dunia Islam di era kontemporer. Setiap kelompok Islam yang sudah dilekati citra buruk di level internasional, seperti Taliban dan al-Qaeda, sangat kuat dipengaruhi oleh pemikiran Wahhabi.
Dimulai dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab
Dasar-dasar teologi Wahhabi dibangun oleh seorang fanatik abad ke-18 yaitu Muhammad ibn Abd al-Wahhab (w. 1206 H./1792 M.). Gagasan utama Abd al-Wahhab adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyimpang dari .jalan Islam yang lurus, dan.hanya dengan kembali ke satu-satuya agama yang benar mereka akan diterima dan mendapat rida dari Allah. Dengan semangat puritan, Abd al- Wahhab hendak membebaskan Islam dari semua perusakan yang diyakininya telah menggerogoti agama Islam, yang di antaranya adalah tasawuf, doktrin perantara (tawassul), rasionalisme, ajaran syiah, serta banyak praktik lain yang dinilainya Sebagai inovasi bidah.
Pada masa Abd al-Wahhab, modernitas telah merevolusi konsepsi manusia mengenai realitas di dunia dengan memperkenalkan konsep yang mengguncang kesadaran,yakni konsep relativitas dan subjeksitas semua pengetahuan manusia, dan juga dengan memperkenalkan empirisisme ilmiah. Modernisme juga telah menambah kompleksitas tatanan sosial dan ekonomi, sehingga masyarakat-masyarakattradisional yang berjuang untuk berkembang dan menjadi modern merasa semakin teralienasi.
Di dunia Islam, masyarakat, budaya, dan gerakan yang berbeda merespons dampak dari modernitas yang mengacaukan keseimbangan itu dengan cara yang beragam. Beberapa, seperti gerakan Kemalis di Turki, misalnya menanggapinya dengan mencoba melancarkanWesternisasi dan sebisa mungkin bergerak menjauh dari Islam. Yang lain, sembari menampik budaya Barat, mencoba mempertemukan Islam dan modernisme dengan menekankan bahwa pemikiran ilmiah dan rasional sepenuhnya sesuai dengan etika Islam. Gerakan Wahhabi merespons kekuatan modernitas yang mengacaukan keseimbangan, serta merespons situasi moral dan sosial yang rentan dan menyergapnya, dengan mencari temPat perlindungan. Dalam hal ini, perlindungan itu diperoleh dengan melekatkan diri pada teks-teks Islam tertentu untuk mendapatkan rasa kepastian dan kenyamanan. Seolah-olah paham Wahhabi melindungi dirinya dari tantangan dan ancaman modernitas dengan memaksa teks-teks keagamaan untuk menyediakan jawaban-jawaban yang definitif dan tak bisa diperdebatkan mengenai persoalan-persoalan individual maupun sosial.l
1. Beberapa penulis telah mencatat ciri literalis dan ekstremis dalam tulisan-tulisan Abd al-wahhab. Misalnya, lihat Hamid Algar, wahhabism: A critical Essay (Oneonta, NY: lslamic Publications International, 2002); Henry Bayman, The Secret of Islam: Love and Law in the Religious Ethics (Berkeley: North Atlantic Books, 2003). Baru-baru ini, sebuah karya Apologetis mencoba membela pendiri paham wahhabi ini terhadap tuduhan kekakuan, literalisme, dan ekstremisme: lihat Natana Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to global Jihad (oxford: Oxford University Press, 2004). Di sini bukan tempatnya untuk membahas penghilangan, kesalahan, dan penggambaran keliru yang sangat mencolok yang mewarnai buku ini. Akan tetapi, saya akan lalai jika tidak menyatakan ketidaksepahaman saya dengan kebanyakan apa yang tercetak dalam karya aneh ini.
Klaim Wahhabisme=ajaran Islam
Wahhabisme memperlihatkan kebencian yang luar biasa terhadap semua bentuk intelektualisme, mistisisme, dan sektarianisme di dalam Islam, dengan memandang semua itu sebagai inovasi yang menyirnpang yang telah masuk ke dalam islam karena adanya pengaruh-pengaruh dari luar Islam. Kaum Wahhabi cenderung menyikapi segala sesuatu yang tidak datang dari wilayah Arab sebagai sesuatu yang layek dicurigai, dan mereka percaya bahwa pengaruh-pengaruh non-Islam itu berasal dari bangsa seperti Persia, Turki, dan Yunani. Misalnya, kaum Wahhabi percaya bahwa sufisme adalah sesuatu yang diimpor dari Persia. Kepercayaan untuk menggunakan perantara (tnwassul) para wali dan memuja makam suci berasal dari Turki. Sementara itu, rasionalisme dan filsafat adalah pengaruh Yunani.2 Klaim Wahhabi ini terlalu menyederhanakan dan tidak akurat. Namun yang jelas, tak perlu diragukan lagi bahwa kaum Wahhabi selalu menyamakan praktik budaya kehidupan Badui yang keras dengan satu-satunya Islam yang benar.3
2. Amin al-Rihani, Tarikh Najd wa Mulhaqatih (Beirut: Dar al- Rihani, 1973), h. 35-36.
3. Hubungan antara paham Wahhabi dan kehidupan Badui sangat jelas tergambar di dalam sebuah karya seperti John Lewis Burckhardt, al-Badw wa al-Wahhabiyyah, penerjemah: Muhammad al-Asyuti (Beirut: Dar Swidan, 1995); al-Sayyid Muhammad al- Kutsayri, al-Salafyyah bayn Ahl al-Sunah wa al-’Imamiyyah (Beirut: al-Ghadir li al-Thiba’ah, 1997), h. 509, membahas hubungan kehidupan Badui dan paham Wahhabi, dan melukiskan Wahhabisme sebagai keyakinan suku Badui.
Menurut kaum Wahhabi, kita wajib kembali kepada Islam yang dipandang murni, sederhana, dan lurus, yang diyakini dapat sepenuhnya direbut kembali dengan mengimplementasikan perintah dan contoh Nabi secara literal, dan dengan secara ketat menaati praktik ritual yang benar. Akibatnya, kaum Wahhabi menyikapi teks-teks agama—-Alquran dan Sunah¬ sebagai satu instruksi manual untuk menggapai model yang sebenarnya dari negara kota Madinah yang telah dibangun Nabi.
Andai mau kembali berpegang pada keyakinan dan prakik yang benar sebagaimana diperintahkan Tuhan, umat Islam tak akan mengalami keterbelakangan dan keterhinaan kolektif, karena umat Islam akan sekali lagi mendapatkan bantuan dan dukungan Tuhan. Wahhabisme juga menolak praktik keislaman yang sudah lama berlangsung yang memandang beragam mazhab pemikiran sebagai sama-sama bisa diterima, dan mempersempit wilayah persoalan yang dapat diperselisihkan oleh umat Islam. Ajaran keagamaan yang dipandang dapat diterima oleh kaum Wahhabi didefinisikan secara sempit. Menurut pengertian mereka yang sempit ini, praktek historis yang menerima keragaman pendapat sebagai sesuatu yang sama-sama sah dan benar merupakan salah satu penyebab terjadinya perpecahan umat Islarn dan keterbelakanganserta kelemahan umat Islam.
Pembid’ahan dan Pengkafiran
Abd al-Wahhab dan para pengikutnya kerap mengumbar ungkapan retoris terhadap para ahli hukum terkemuka abad pertengahan dan kontemporer, yang dinilainya bidah, dan bahkan memerintahkan eksekusi atau hukuman mati terhadap sejumlah besar ahli hukum yang tidak sependapat dengan mereka.4 Dalam tulisan-tulisannya, Abd al-Wahhab acap kali menyebut ahli-ahli hukum sebagai “para setan” atau “anak buah Setan” (syayathin atau a’wan al-syayathin), dan dengan demikian menyingkirkan hambatan psikologis untuk mencemarkan kenangan dan sejarah hidup para sarjana terkemuka.5
4. Pembantaian terhadap para ulama Islam oleh kaum Wahhabi digambarkan dalam karya Ibrahim al-Rawi al-Rifai, Risalat al- Awraq at-Baghdadiyyah fi at-Hawadits al-Najdiyyah (Baghdad: Mathba’at al-Najah, 1927), h. 3-4.
5. Abd al-Wahhab, “al-Risalah al-Ula,” dalam Majmu’at al-Tauhid (Damaskus: al-Maktab al-Islami, 1962), h. 34-35; Abd al- Wahhab, “Kasyf al-Syubuhat: al-Risalah al-Tsalitsah,” dalam Majmu’at al-Tawhid, h. 104; juga lihat Abd al- Wahhab,”Bayan al-Najah wa al-Fakak: al-Risalah al-Tsaniyah ‘Asyrah” (dihimpun oleh Hamad al-Najdi), dalam Majmu’at al-Tawbid, h.356-357.
Menurut Abd al-Wahhab dan pengikutnya, tradisi hukum–kecuali sedikit ahli hukum, seperti Ibn Thaymiyyah (w. 728 H./1328 M.), yang sangat mereka hargai— sebagian besar telah merusak, dan penghormatan serta tunduk pada mazhab pemikiran yurisprudensial yang sudah mapan atau kepada para ahli hukum yang hidup di zarnan itu merupakan suatu tindakan bidah.6 Semoa ahli hukum yang bukan rermasuk literalis yang ketat-atau mereka yang dicurigai menggunakan nalar di dalam penafsiran hukum atau mereka yang sudah mengintegrasikan metode-metode analisis rasional ke dalam pendekatan penafsiran mereka–dinilai sebagai pelaku bidah.
6. Abd al-Wahhab, “al-Risalah al-Tsaniyah,” dalam Majmu’at al- Tauhid, h. 4-6; Abd al-Wahhab, “Asbab Najat al-Sul: al-Risalah Tsaminah,” dalam Majmu’at al-Tawhid, h. 208-212; Abd al- Wahhab, “Bayan al-Najah wa al-Fakak: al-Risalah al-Tsaniyah ‘Asyrah.” (dihimpun oleh Hamad al-Najdi) dalam Majmu’at al- Tawhid, h. 382-383; Abd al-Rahman ibn Abd al-Wahhab, “Bayan al-Mahajjah: al-Risalah al-Tsalitsah ‘Asyrah, dalam Majmu’at al- Tawfuid, h. 453.
Di antara ahli hukum abad pertengahan yang secara eksplisit dipandang Wahhabi sebagai kuffar (kafir) adalah sarjana terkemuka seperti Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H./1210 M.). Hal ini mirip dengan orang Yahudi yang mengutuk Maimonides atau orang Kristen Katolik yang menuduh Thomas Aquinas sebagai orang kafir sebab kedua orang ini bersandar pada kriteria rasional dalam pemikiran mereka mengenai hukum Tuhan. Lebih jauh lagi, semua orang Syiah, tanpa terkecuali, dan semua ahli hukum yang diduga bersimpati pada Syiah juga digolongkan sebagai pelaku bidah. Konsekuensi menyebut seorang muslim sebagai pelaku bid’ah sangat besar: seorang pelaku bidah harus disikapi sebagai orang yang murtad, dan karena itu, membunuh atau mengeksekusinya dipandang sebagai sesuatu yang dapat dibenarkan secara hukum.7
7. Lihat karya yang ditulis putra Muhammad ibn Abd al-Wahhab, yang merupakan pengikut setia ayahnya, Abd al-Rahman ibn Abd al-Wahhab, “Bayan al-Mahajjah: al-Risalah al-Tsalitsah Asyrah, dalam Majmu’ al-Thawhid, h. 466-493.
Abd al-Wahhab sendiri gemar membuat daftar panjang keyakinan dan perbuatan yang dinilainya munafiq yang bila diyakini atau diamalkan akan segera mengantarkan seorang muslim berstatus kafir. Misalnya, Abd al-Wahhab berpendapat bahwa bila seorang muslim menyatakan bahwa memakan roti atau daging hukumnya haram, maka si muslim itu menjadi kafir, karena sangat jelas bahwa memakan roti dan daging sangat diperbolehkan di dalam hukum Islam. Sebagai orang kafir, si muslim tadi dapat dibunuh.8
8. Untuk satu contoh daftar yang memuat tindakan yang akan membuat seorang muslim menjadi berstatus kafir, lihat Abd al-WahhAb, “Bayan al-Najah wa al-Fakak min Muwalat al- Murtaddin wa Ahl al-Syirk: al-Risalah al-Tsaniyah Asyrah” (dihimpun oleh Hamad al-Najdi), dalam Majmu’at al-Tawhid, h. 413-416. Lihat pula ‘Aziz al-Azmeh, Mohammed Bin Abdel-Wahhab (Beirut: Riad El-Rayyes Books, 2000), h.77-89.
Dalam ajarannya, Abd al-Wahhab terus-menerus menekankan bahwa tidak ada jalan tengah bagi seorang muslim: menjadi seorang yang benar-benar beriman atau tidak. Dan, jika seorang muslim tidak beriman, menurut standarnya, Abd al-Wahhab sedikit pun tidak cemas untuk menyatakan bahwa si muslim tersebut telah kafir dan kemudian menyikapinya seperti itu. Jika seorang muslim secara eksplisit atau implisit melakukan suatu tindakan yang memperlihatkan ketidakmurnian keimanannya kepada Tuhan atau secara implisit atau eksplisit “menyekutukan Tuhan”9 – suatu ungkapan yang dalam Islam berarti tak memercayai bahwa hanya ada satu Tuhan yang kekal dan abadi; menyekutukan Tuhan berarti menganggap Tuhan punya sekutu atau meyakini bahwa Tuhan punya sekutu yang setara — maka si muslim tersebut harus dipandang sebagai orang kafir dan dibunuh. Bagi Abd al-Wahhab, setiap kegemaran terhadap rasionalisme atau suka membuang waku dan mencari hiburan-seperti musik, seni, atau puisi nonreligius-benar-benar termasuk sebentuk penyekutuan terhadap Tuhan yang cukup serius untuk menyeret seorang muslim keluar dari bingkai Islam.
9. Dalam Islam, percaya pada ajaran Trinitas adalah satu bentuk syirik atau menyekutukan Tuhan.
Pandangan Terhadap Orang Kafir dan Muslim yang Dianggap Kafir
Abd al-Wahhab juga dengan sangat fanatik membenci kaum nonmuslim, dengan menegaskan bahwa muslim seharusnya tidak mengikuti kebiasaan dan atau berteman dengan kaum nonmuslim. Sama sekali tak penting untuk dipersoalkan bagaimana kaum nonmuslim memandang praktik kaum muslim, atau apakah kaum nonmuslim terkesan atau sependapat dengan perilaku muslim. Yang lebih penting, Abd al-Wahhab berpendapat bahwa orang kafir itu bukan hanya orang Kristen dan Yahudi, melainkan juga muslim yang,lantaran keyakinan dan tindakannya, telah (dalam dugaannya) menjadi murtad.10 Dan ini yang sangat penting, menurut Abd al-Wahhab, muslim yang murtad itu lebih buruk daripada orang Kristen dan Yahudi karena keyakinan dan perilaku bidah mereka lebih menghancurkan iman.11
10. Lihat Abd al-Wahhab, “al-Risalah al-Ula,” dalam Majmu’at al- Tawhid, h. 30-31, 68; Abd al- Wahhab, “Bayan al-Najah wa al- Fakak: al-Risalah al-Tsaniyah ‘Asyrah” (dihimpun oleh Hamad al-Najdi), dalam Majmu’at al-Tawhid, hlm 394, 400, 421-423, 433.
11. Lihat Abd al-Wahhab, “al-Risalah al- Ula,” dalam Majmu’at al- Tawhid, h. 30-31, 68; Abd al-Wahhab, “Bayan al-Najah wa al- Fakak: al-Risalah al-Tsaniyah ‘Asyrah” (dihimpun oleh Hamad al-Najdi), dalam Majmu’at al-Tawhid, hlm 394, 400, 421-423, 433. Juga lihat Abd al-Wahhab, Mu’allafat al- Syaykh al-Imam Muhammad ibn Abd al- Wahhab (Riyadh: al-Maktabah al- Su’udiyyah, tt ), jilid pertama, h. 281-310.
Abd al-Wahhab juga menandaskan bahwa peduli atau tertarik pada keyakinan atau praktik kaum nonmuslim merupakan pertanda kelemahan spiritual umat Islam. Mengikuti suatu doktrin yang dikenal sebagai al-wala’ wa al-bara’ (secara literal berarti doktrin loyalitas dan pemutusan), Abd al-WahhAb berpendapat bahwa umat Islam harus tidak bersahabat, menjalin aliansi dengan, atau meniru kaum nonmuslim atau kaum muslim pelaku bidah. Di samping itu, sikap kaum muslim dalam memusuhi dan membenci kaum nonmuslim dan muslim pelaku bidah haruslah sangat jelas dan tegas.12 Misalnya, muslim dilarang untuk terlebih dahulu memberi salam atau ucapan selamat kepada kaum nonmuslim. Dan sekalipun jika seorang muslim membalas salam, ia seharusnya tak pernah mendoakan keselamatan atau kedamaian bagi si nonmuslim tersebut. Demikian juga, muslim boleh menyampaikan ungkapan belasungkawa kepada nonmuslim, tetapi mereka tidak boleh memohonkan kepada Tuhan agar mereka dikasihi-Nya atau memohon agar Tuhan mengampuni dosa-dosanya. Muslim hanya diperkenankan mengucapkan, “Semoga Tuhan membimbingmu ke jalan yang benar” atau ”semoga Tuhan mengganti apa yang hilang pada dirimu”. Jika seorang muslimm melanggar aturan ini, ia harus diposisikan sebagaiseorang yang murtad. Konsekuensi yang sama mengerikannya bakal berlaku bila seorangmuslim menyebut kaum nonmuslim sebagai”saudara”.
12. Abd al-Wahhab, Mu’allafat al-Syaykh al-Imam Muhammad ibn Abd al-Wahhab (Riyadh: al-Maktabah a1-Su’udiyyah, tt), jilid pertama, h. 312-329.
Selain itu, kaum Wahhabi melarang penggunaan gelar penghormatan yang ditujukan untuk menghormati manusia, seperti “tuan” “doktor,” “mister,” atau “sir.” Abd al-V/ahhab mengatakan bahwa imbuhan seperti itu adalah suatu bentuk penyekutuan terhadap Tuhan. Oleh karena itu, menggunakannya cukuplah menjadikan seorang muslim berstatus kafir. Lebih penting lagi, menurut Abd al-Wahhab, imbuhan dan label itu merupakan tindakan yang meniru-niru perilaku orang Barat yang kafir dan karenanya harus dihukum, sebab mereka yang meniru orang kafir kemudian berstatus kafir pula. Demikian pula, turut serta dalam perayaan, berlibur, pesta, dan acara sosial apa pun yang pada mulanya ditemukan oleh kaum nonmuslim cukup menjadikan seorang muslim berstatus kafir.l3
13. Muhammad ibn Abd al-Wahhab, “Awtsaq al-’Ura: al-Risalah al-Sadisah,” dalam Majmu’at al-Tawhid, h. 171.
Abd al-Wahhab mendukung suatu sistem keyakinan yang tertutup, lengkap dan mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, sehingga ia tak pupya alasan untuk terlibat atau berinteraksi dengan yang lain, kecuali dengan posisi mendominasi. Hal ini terutama penting karena orientasi Abd al-V/ahhab pada dasarnya tidak berbeda dari pendekatan yang diambil oleh kelompok-kelompok muslim puritan menyangkut tidak relevannya nilai-nilai moral universal dalam hubungannya dengan misi Islam. Pemisahan dan isolasionisme moral ini, yang jelas tampak dalam tulisan Abd al-Wahhab, kemudian banyak direproduksi oleh ideolog-ideolog gerakan puritan berikutnya. Misalnya, Sayyid Quthb, salah satu ideolog puritan paling berpengaruh, berpendapat bahwa pada pertengahan abad ke-20 dunia, termasuk dunia Islam, sedang hidup dalam masa jahiliyyah (masa kegelapan dan kebodohan yang biasanya dirujukkan pada era pra-Islam). Sebagaimana Abd al-Wahhab, Quthb mendukung sistem isolasionisme intelektual yang tertutup dan berpendapat bahwa umat Islam tak seharusnya berinteraksi dengan nonmuslim kecuali dari posisi supremasi.14
14. Lihat Sayyid Qutb, Milestones on the Road (Bloomington, IN: American Trust Publications, 1991); Ahmad S. Mousalli, Radical Islamic Fundamentalism: The Ideological and Political Discourse of Sayyid Qutb (Syracuse: Syracuse University Press, 1993).
Kebencian Terhadap Turki Utsmani
Ironi sesungguhnya adalah bahwa di dalam semangat Abdal-Wahhab untuk menjaga kemurnian Islam tertanam suatu etnosentrisme pro-Arab yang seutuhnya bertentangan dengan semangat universal Islam. Seperti dalam gerakan-gerakan puritan berikutnya, ada satu tujuan politik dan nasionalistik yang kuat dalam pemikiran Abd al-Wahhnb–sebuah tujuan yang didorong dan disembunyikan di balik ungkapan bahasa zgema. Musuh Abd al-Wahhab yang senantiasa dibencinya bukanlah orang Kristen atau Yahudi, melainkan Turki ‘Utsmani. Abd al-Wahhab mengutuk Turki ‘UtsmAni sebagaikelompok yang telah mencemarkan Islam, dan ia melukiskan mereka sebagai kelompok yang secara moral sama dengan banpa Mongol, yang sebelumnya pernah menyerang wilayah muslim dan kemudian masuk Islam. Namun, seperti bangsa Mongol, pemimpin Tirrki masuk Islam hanya dalam nama saja, seperti kata Abd al-Y/ahhib. Tentunya, menurutnya, Turki ‘Utsmani adalah musuh utama Islam karena mereka menggerogoti agama dari dalam sembari berpura-pura menjadi muslim sejati. Abd al-Wahhab mengpmbarkan Dinasti Utsmani sebagai al-daulah al-kufriyyah (bangsa kafir) dan menyatakan bahwa mendukung atau berafiliasi dengan ‘Utsmani adalah sama berdosanya dengan mendukung beraliansi dengan orang Kristen atau Yahudi.15
15. Abd al-Wahhab, “Bayan al-Najah wa al-Fakak: al-Risalah al- Tsaniyah ‘Asyrah,” (dihimpun oleh Hamad al-Najdi), dalam Majmu’at al-Tawhid, h. 358-368, 375, 412.
Abd al-Wahhab keliru mengenai Turki ‘Utsmani: mereka tidak seperti bangsa Mongol yang menghancurkan dunia Islam pada abad ke-12, membunuh ratusan ribu orang dan memusnahkan manuskrip-manuskrip Islam yang tak terbilang jumlahnya. Imperium ‘Utsmani telah membangun salah satu kekhalifahan terkuat dan sudah sangat lama menjadi pembela iman Islam. Bahkan sebelum khalifah ‘Utsmani, Turki sudah menjadi etnik penting dalam mozaik beragam etnik yang mernbentuk llrrpcrium lslam. Memang benar bahwa pada pcriode terakhir ‘Utsmani, para khalifah ‘Utsmani telah memberlakukan sistem pajak yang korup dan tidak efisien yang didasarkan pada konsesi khusus dan patronase, dan sekali waktu mereka sangat represif dan eksploitatif Namun di dalam tulisan mereka, Abd al-Wahhab dan para pengikutnya tidak memprotes kebijakan-kebijakan ini, dan dengan begitu kebencian mereka kepada ‘Utsmdni tampaknya tidak didorong oleh sikap prinsipil menentang ketidakadilan ‘Utsmani. Sebaliknya, Abd al-Wahhab, sebagian, terpengaruhi oleh keyakinan etnosentris lama bahwa hanya bangsa Arab yang sanggup merepresentasikan satu-satunya Islam sejati dan autentik.l6
16. Misalnya, hal ini tampak jelas dalam sejarah resmi Saudi mengenai gerakan Wahhabi, Munir al-’Ujlani, Tarikh al-Bilad al- ‘Arabiyyah al-Su’udiyyah-salinan yang ada pada saya tidak memberikan keterangan penerbit atau tempat dan tanggal publikasi.
Akan tetapi, faktor lain yang menjelaskan kebencian Abd al-Wahhab kepada Dinasti ‘Utsmani adalah bahwa ia merespons usaha-usaha Inggris pada abad ke-18 untuk menghancurkan khalifah ’Utsmnni dengan menyulur api etnisitas lokal, termasuk yang berupa nasionalisme Arab.17 Menariknya, beda halnya dengan nasionalis Arab nonsekuler lainnya, Abd al-Wahhab tidak menyokong dibentuknya kekhalifahan Arab sebagai ganti dari kekhalifahan’Utsmani. Namun, Abd al-Wahhab tidak tertarik pada teori politik atau praktik politik sebagaimana ia tertarik pada budaya Arab murni, yang dalam pikiran Abd al-Wahhab tak bisa dibedakan dari Islam sejati. Akan tetapi Abd al-wahhab tidak menyadari atau mengakui bahwa ia telah mengaburkan budaya Arab-lebih tepatnya budaya Badui Arab dengan ajaran universal Islam. Sebenarnya, Abd al-’Wahhab mendeklarasikan bentuk budaya Badui sebagai satu-satunya Islam sejati dan kemudian menguniversalkannya dengan menjadikannya sebagai sesuatu yang wajib diikuti oleh semua umat Islam.
17. Al-Rihani, Tarikh Najd, h. 229-243. Hamid Algar, Wahhabism, h. 37-40, berpendapat bahwa klaim bahwa kalangan Wahhabi terilhami oleh nasionalisme Arab itu ketinggalan zaman. Saya tidak sependapat karena jelas bahwa nasionalisme Arab sedang bangkit-bangkitnya pada abad ke-19.
Inkonsistensi Wahhabi Terhadap Kolonial Inggris
Semua ini menunjuk pada satu fakta yang sudah diabaikan oleh banyak pemerhati kontemporer: Wahhabisme pada abad ke-18 tclah diwarnai oleh inkonsistensi ideologis yang hingga saat ini belum bisa didamaikan atau dipecahkan.18 Jadi, misalnya, sementara mengutuk semua praktik budaya dan menandaskan kepatuhan secara ketat pada Islam, kenyataannya Wahhabisme justru merupakan bangunan budayanya sendiriyaitu, budaya Badui dari wilayah Najd di Semenanjung Arab (bagian dari Arab Saudi saat ini).19 Sementara bersikeras bahwa hanya ada satu Islam sejati, sesungguhnya Wahhabisme menguniversalkan budayanya sendiri dan menyatakan-nya sebagai satu-satunya Islam sejati. Sementara terus-menerus mengutuk pengaruh kaum nonmuslim dan menolak setiap bentuk kerja sama dengan Barat, kenyataannya kaum Wahhabi didorong dan didukung oleh kaum kolonial Inggris untuk memerangi imperium ‘Utsmani, yang intinya berarti bahwa kaum Wahhabi berdampingan dengan orang Inggris yang nonmuslim untuk menentang musuhnya yaitu ‘Utsmani yang muslim. Selain itu, sementara mengutuk semua bentuk nasionalisme sebagai temuan Barat yang jahat, sesungguhnya Wahhabisme justru merupakan gerakan nasionalistik pro-Arab yang menolak dominasi Tirrki atas bangsa Arab dengan dalih membela satu bentuk Islam yang benar. Menyangkut hal yang sangat mendasar, sementara kaum Wahhabi abad ke-18 menerima buday.a Badui Najd dan menguniversalkannya ke dalam ldam, kaum Wahhabi kini menerima budaya Arab Saudi dan menguniversalkannya dengan menyebutnya sebagai satu-satunya Islam yang benar.
18. Beberapa sarjana Syiah telah mencatat inkonsistensi paham Wahhabi dan menulis buku-buku tentang topik ini; tetapi sangat sedikit sarjana Suni yang sudah melakukan hal yang sama. Satu contoh yang paling tersohor adalah Muhammad al-Ghazali dalam karyanya al-Sunah al-Nabawiyyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits (Kairo: Dar al-Syuruq, 1989). Dalam buku ini, al-Ghazali, seorang ahli hukum Mesir terkemuka, berbicara tentang bentuk Badui islam yang menyamar untuk kemudian mengaku sebagai satu-satunya bentuk Islam sejati dan mengancam akan mengambil-alih dunia Islam. Untuk alasan-alasan politik, al-Ghazali tidak secara eksplisit menyebut Islam Wahhabi. Kritik al-Ghazali dibahas lebih detail dalam bagian akhir bab ini.
19. Pengaruh budaya Badui dari wilayah Najd terhadap paham Wahhabi sangat tampak jelas dalam sebuah teks pro-Wahhabi seperti karya Rasyid Ridha (editor), Majmu’at al-Hadits al-Najdiyyah (Qatar: Mathabi’ al-’Urubah, 1963). Lihat juga Mohamed Al-Freih, “Historical Background of the Emergence of Muhammad Ibn Abd al-Wahhab and His Movement” (disertasi Ph.D., University of California di Los Angeles, 1990), tentang watak kesukuan Arabia dan persaingan antara Hijaz dan Najd, dan peran Abd al-Wahhib dalam persaingan ini; lihat khususnya h. 350.
Sebuah Inkonsistensi Dalam Menerapkan Hukum Islam
Ketergantungan kultural Wahhabisme mengingkari klaimnya akan literalisme tekstual. Kenyataan bahwa Wahhabisme mengekspresikan konteks dan pemahaman budaya yang spesifik dan sempit tidak sejalan dengan klaimnya bahwa keyakinan dan hukum-hukumnya didasarkan pada pembacaan literal atas teks-teks Islam. Kenyataannya, Abd al-Wahhab dan para pengikutnya menafsirkan teks-teks yang sudah terseleksi demi mendukung gagasan-gagasan yang terbentuk sebelumnya mengenai sejumlah isu. Pembacaan selektif atas bukti tekstual ini sangat dibantu oleh fakta bahwa kaum Wahhabi telah membebaskan diri rncrcka dari peran besar khazanah hukum Islam. Bukannya beradu argumen dengan berbagai interpretasi yang telah dibuat di masa lalu, dengan cara demikian kaum Wahhabi akan lebih mudah membaca sumber-sumber Islam demi mendukung pemahaman dan bias budaya mereka sendiri. Berbagai preseden hukum yang tidak mendukung sikap kaum Wahhabi benar-benar dicampakkan, dan generasi ahli hukum masa silam yang tidak memiliki kesamaan pemahaman dalam persoalan-persoalan keislaman dengan Abd al-Wahhab digolongkan sebagai pelaku bidah.
Abd al-Wahhab menegaskan, misalnya, bahwa umat Islam yang melakukan perbuatan syirik harus ditentang dan dibunuh, dan ia menafsirkan preseden yang dilakukan oleh khalifah pertama di Madinah,20 Abfr Bakr (w. 13 H – 634 M.), demi mendukung argumen bahwa sekalipun orang mengakui dirinya sebagai muslim, mereka bisa, dan seharusnya, dibunuh karena telah berstatus munafik. Abd al-Wahhab mengklaim bahwa Abu Bakr memerangi dan membunuh begitu banyak orang munafik meskipun mereka mengerjakan lima rukun Islam. Dengan berpendapat bahwa para pengikutnya dibenarkan untuk membunuh musuh yang juga muslim, ia berpendirian bahwa Turki ‘Utsmani. sekutu mereka, dan semua umat Islam yang melakukan syirik dan menjadi munafik sesungguhnya adelah kaum kafir yang layak dibunuh.
20. Dalam Suni Islam, ungkapan “Khulafa’ al-Risyidun” merujuk pada empat Sahabat yang memimpin umat Islam sesudah meninggalnya Nabi Muhammad. Secara berurutan mereka adalah: Abu Bakr (w 13 H./634 M.), ‘Umar ibn al-Khaththab (w 23 H./644 M.), ‘Utsman ibn ‘Affan (w. 35 H/656 M.), dan ‘Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H/661 M.). Selain itu, banyak muslim yang memandang khalifah Umayyah,’Umar ibn Abd al-Aziz (w 101 H/720 M.) sebagai khalifah kelima, meskipun dia bukan sahabat Nabi. Para pemimpin ini disebut “al-Rasyidun” sebagai ungkapan penghargaan dan penghormatan mendalam terhadap mereka. Muslim Suni percaya bahwa empat khalifah ini sanggup membangun sebuah sisrem politik yang adil dan berkesederajatan yang mirip dengan sistem politik yang dibangun Nabi di Madinah.
Abd al-’Wahhab juga gemar mengutip kejadian ketika Abu Bakr diriwayatkan telah membakar orang-orang yarrg disebut munafik hingga mati, dan ia menggunakan apa yang diklaim sebagai preseden ini untuk berargumen bahwa para pendukungnya dibenarkan menyiksa lawan-lawan mereka.21 Jelaslah bahwa preseden ini diragukan kebenarannya meski begitu dikenal, dan hampir semua sarjana muslim menolak dengan memandangnya sebagai suatu kisah fiktif belaka. Kepcrcayaan Abd al-Wahhab atas laporan sejarah yang ganjil ini memiliki pengaruh yang cukup penting. Hal itu dengan gamblang memperlihatkan keinginannya untuk memilih preseden dari tradisi Islam yang mendukung perilaku kejam dan tak manusiawi preseden yang oleh para sarjana dan ahli hukum di masa lalu telah betul-betul ditentang keras dan didekonstruksi.
21. Lihat Abd al-Wahhab, “al*Risilah al-Ula,” dalam Majmu’at al Tawhid, h. 36, 70-72; Abd al-Wahhab, “Kasyf al-Syubuhat: al Risalah al-Tsalitsah,” dalam Majmu’at al-Tawhid, h. 117-118; ‘Abd al-Wahhab, “Bayan al-Najah wa al-Fakak: al-Risalah al-Tsaniyah Asyrah” (dihimpun oleh Hamad al-Najdi), dalam Majmu’at al Tawhid, h. 403-409. Argumen serupa oleh Abd al-Wahhab dihimpun dalam Husayn Ghannam, Tarikh Najd (Riyadh: Mathabi’ al-Shafahat al Dzahabiyyah, 1381), h. 40-43.
Sebagai misal, banyak sarjana di bidang tradisi Islam yang mengkaji apa yang diklaim sebagai preseden Abu Bakr itu sampai pada kesimpulan bahwa klaim bahwa Abu Bakr menyalahkan orang munafik yang menjalankan lima rukun Islam dan memerangi mereka adalah tak berdasar dan tak memiliki bukti yang mendukung. Selain itu, penggunaan api atau pembakaran baik terhadap kaum muslim atau nonmuslim yang menjadi musuh sangat dikutuk dalam hukum Islam klasik. Banyak sarjana klasik dengan penuh hati-hati mencatat bahwa laporan tentang Abu Bakr yang menggunakan metode pembakaran terhadap kaum muslim yang menjadi musuh direkayasa oleh lawan-lawan Abu Bakr dan dituturkan oleh orang yang sangat layak dicurigei.22 Para sarjana klasik ini tak hanya menentang autentisitas dan kejujuran penuturan sejarah mengenai insiden Abu Bakr ini, mereka juga berpendapat bahwa preseden yang menceritakan tentang kekejaman itu bertentangan dengan etika Al quran dan ajaran Nabi.
22. Tentang peristiwa Abu Bakr dan asal-usul sejarahnya, lihat Abou El Fadl, Rebellion and Violence in Islam Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), h. 34-61.
Abd al-Wahhab menolak menolak kumpulan literatur yang tidak membenarkan preseden itu dalam usahanya untuk membenarkan pembunuhan dan penganiayaan terhadap orang-orang yang ia pandang sebagai muslim bidah, dan para muridnya memeluk dan mengesahkan preseden kejam ini.23 Dengan mengesampingkan dan kadang kala memandang warisan klasik berikut penafsirannya sebagai sesuatu yang buruk, Abd al-Wahhab mendapatkan akses mulus ke preseden yang membenarkan kekejaman. Ia merasa tak terbebani dengan tantangan yang disodorkan Para sarjana di masa lalu. Abd al- Wahhab sanggup memasukkan kembali preseden-preseden kekejaman ini ke dalam inti teologi dan hukum Islam, dan dengan begitu ia rnenemukan kembali Islam berdasarkan sebentuk imoralitas baru.
23. Di antara perbuatan kejam yang dilakukan oleh orang-orang Wahhabi adalah membunuh anak-anak muslim yang mereka pandang kafir. Lihat al-Rifa’i, Risalat al-Awraq al-Baghdadiyyah, h. 3.
Alasan mengapa semua ini sangat krusial adalah bahwa ekstremis muslim seperti Bin Laden dan Omar Abd al-Rahman mengikuti Abd al-Wahhab dengan bersandar pada preseden kekejaman yang sama persis sebagai suatu cara untuk menjustifikasi pembunuhan terhadap orang-orang tak bersalah. Sesungguhnya, sangat mengejutkan bahwa preseden yang dibela Abd al-wahhab itu sendiri ternyata dikutip di berbagai website yang ditayangkan oleh kelompok-kelompok yang membunuh sandera di Irak. Tidak semuanya mengejutkan bahwa semua ekstremis ini kelihatan sekali terpengaruh secara langsung oleh tulisan Abd al-Wahhab dan oleh upaya tak tahu malu yang dilakukannya untuk membela kredibilitas laporan sejarah yang menjustifikasi pembunuhan dan kekejaman itu.
Penolakan Sulayman ibn Abd al- Wahhab dan Ulama se-zaman
Menilik sikap kalangan’Wahhabi yang mencampakkan sejarah dan hukum Islam dan seluruh tradisi klasik, tidaklah mengherankan bahwa gerakan tersebut menuai kritik pedas dari sangat banyak sarjana kontemporer-terutama sekali kakak Abd al-Wahhab sendiri, Sulayman, dan kabarnya juga ayah Abd al-Wahhab. Sulayman, saudara Muhammad ibn Abd al- Wahhab, menulis satu risalah yang didedikasikan untuk mengkritisi sikap, pendidikan, dan ajaran-ajaran saudaranya yang puritan. Seorang mufti berrnazhab Hanbali di Mekah, Ibn Humaydi (w. 1295 H./1.878 M.), sosok terkemuka dan pemegang otoritas kala itu, menceritakan bahwa ayah Muhammad ibn Abd al-’Wahhab kesal dengan anaknya karena Muhammad ibn Abd al-Wahhab ternyata bukanlah murid yang baik di bidang yurisprudensi Islam dan dengan arogan menantang guru-gurunya. Sebenarnya, Abd al-Wahhab muda tidak merryelesaikan studinya di bidang Syariat, dan tak begitu jelas apakah dia putus sekolah atau dikeluarkan. Ibn Humaydi menyatakan, karena takut akan kemarahan ayahnya, Muhammad ibn Abd al-Wahhab tidak berani mulai mengajarkan ajaran-ajarannya yang puritan hingga sesudah kematian ayahnya.24
24. Muhammad ibn Abd Allah ibn Humaydi al-Najdi, al-Suhub al Wabilah ‘ala Dara’ih al-Hanabilah (Beirut: Makabat al-Imam Ahmad, 1989), h. 275. Penegasan serupa dibuat oleh al-Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, Khulashat al-Kalam fi Bayan ‘Umara’ al-Balad al-Haram (Kairo: Makabat al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1977), h. 229-230.
Secara keseluruhan, kritik yang ditujukan kepada Abd al- Wahhab beserta para pengikutnya oleh mereka yeng sezarrran dengan Abd al-Wahhab dan pengikutnya tidaklah terlalu mengagetkan. Orang-orang Wahhabi dikritik lanraran sangat kurang menghargai sejarah Islam, monumen-monumen bersejarah, tempat keramat dan pusaka peninggalan, tradisi intelektual Islam, atau penghargaan terhadap jiwa kaum muslim.25 Saudara Abd al-Wahhab, juga kritikus lain, menyatakan bahwa Abd al-Wahhab itu orang yang kurang terdidik dan intoleran yang dengan bodoh dan arogan menghina setiap pemikiran atau orang yang berbeda pendapat dengannya.26 Sulayman mengeluhkan bahwa selain mengandung unsur-unsur fanatik yang paling ekstrem, pandangan-pandangan saudaranya itu tidak memiliki preseden atau contoh di dalam sejarah Islam. Misalnya, tegas Sulayman, mayoritas sarjana Islam menghindarkan diri dari menyalahkan kaum rasionalis dan mistikus yang dipandang sebagai pelaku bidah, dan memilih berdebat dengan mereka secara damai.27
25. Sulayman ibn Abd al-Wahhab, al-Shawa’iq al-Illahiyyah, h. 60-61, 120. Ibn Humaydi melaporkan cerita-cerita mengenai sejumlah ahli hukum yang dibunuh oleh para pengikut Abd al- Wahhab; lihat Ibn Humaydi, al-Suhub al-Wabilah, h. 276-280, 402,405.
26. Sulayman ibn Abd al-Wahhab, al-Shawa’iq al-Illahiyyah, h. 9, 34-35. Dawud al-Musawi al-Baghdadi, Kitab Ashad al-Jihad fi Ibthal Da’wat al-Ijtihad (Kairo: al-Babi al-Halabi, t.t.), h. 40-41, menggambarkan Abd al-Wahhab sebagai orang yang kurang berpendidikan yang mengizinkan orang bodoh untuk mengajar tentang hukum Islam. Tentang pendidikan Muhammad ibn Abd al-Wahhab, lihat Michael Cook, “On the Origins of Wahhabism,” Journal of the Royal ,Asiatic Society 3, No. 2 (1992).
27. Lihat, untuk mendukung argumennya bahwa tindakan Abd al- Wahhab tidak ada presedennya, Sulayman ibn Abd al-Wahhab, al-Shawa’iq al-Illahiyyah, h. 21, 25, 30-32, 38.
Abd al-Wahhab, berdasarkan risalah saudaranya itu, tidak mengarahkan dirinya untuk membaca atau memahami karya-karya para pendahulu di bidang yurisprudensi. Namun, meski Abd al-Wahhab melecehkan karya banyak ahli hukum, ia memperlakukan ujaran sejumlah ulama, seperti ahli hukum bermazhab Hanbali-Ibn Taymiyyah (w. 728 H./1,328 M.), seolah-olah ujaran itu terwahyukan dari Tuhan, tidak boleh dipertanyakan atau didebat. Tetapi kemudian, Abd al- Wahhab sangat selektif terhadap karya Ibn Taymiyyah, dengan hanya mengutip ape yang disukainya dan membuang bagian yang lain. Lebih penting untuk dicatat, Ibn Humaydi, yang juga pengagum Ibn Thaymiyyah, mengulang tudingan serupa pada Abd al-Wahhab.28
28. Sulayman ibn Abd al-Wahhab, al-Shawa’iq al Illahiyyah, h. 16, 72; Ibn Humaydi, al-Suhub al-Wabilah, h. 275.
Sulayman dan para sarjana lainnya mencatat ironi dalam fakta bahwa Abd al-Wahhab dan para pengikutnya, meskipun melarang taqlid (meniru atau mengikuti para ahli hukum pendahulu), pada akhirnya menegaskan dan bahkan memerintahkan taqlid, namun dalam bentuk yang berbeda. Mereka melarang praktik taqlid sejauh terkait dengan ahli hukum yang tidak disukainya, namun meminta umat Islam mengikuti pemikiran Wahhabi secara buta dan tidak kritis-sebuah standar ganda yang dikritisi habis-habisan oleh Sulayman. Intinya, kata Sulayman, orang-orang wahhabi bertindak seolah-olah satu-satunya ukuran komitmen terhadap Islam adalah mengikuti dan menaati mereka, sebab bila seorang muslim tidak sejalan dengan mereka, mereka menganggap muslim tersebut sebagai orang yang melakukan bidah per se.29 Tentunya, orang-orang wahhabi biasa menyebut diri mereka al-Muslimun (muslim) atau al-Muwahhidun (monoteis), yeng mengisyaratkan bahwa mereka yang tak menerima keyakinan mereka bukanlah termasuk muslim dan monoteis.30
29. Terhadap orang-orang Wahhabi, Sulayman mengatakan: “Wa taj’alun mizan kufr al-nashsh mukhalafatakum wa mizan al-lslam muwafaqatakum” (“Orang yang tak sependapat dengan kalian [orang-orang Wahhabi] disebut kafir, sedang mereka yang bersepakat dengan kalian dipandang muslim.”). Sulayman ibn Abd al-Wahhab, al-Shawaiq al-Illahiyyah, h. 54; lihat juga h. 14, 42.
30. Al-’Ujlani, Tarikh al-Bilad al-Arabiyyah al- Su’udiyyah, jilid pertama, bagian 2, h. 279-281.
Pendek kata, Sulayman menegaskan bahwa metodologi Wahhabi didasarkan atas cita rasa despotisme: seluruh tradisi intelektual Islam diabaikan begitu saja dan kaum muslim diberi pilihan untuk menerima interpretasi ganjil kaum Wahhabi atas Islam atau didakwa kafir dan dibunuh. Dan memang, pada saat mereka menaklukkan Semenanjung Arab pada abad ke- 18, setiap kali kaum wahhabi menaklukkan sebuah kota, mereka meminta penduduk muslim setempat untuk mengulang syahadat, namun saat ini, para penduduk di sana juga harus mengucapkan syahadat sembari bersumpah akan mengikuti keyakinan dan praktik Wahhabi. Para penduduk yang tak mau menyatakan komitmen kepada Islam sebagaimana dipahami dan ditafsirkan oleh Wahhabi dipandang berstatus kafir dan akan dibunuh dengan pedang.31 Sumber-sumber kesejarahan melukiskan heboh pembantaian besar-besaran yang dilakukan militer Wahhabi pada abad ke-18 di seluruh Arabia.32
31. Dahlan, Khulashat al-Kalam, h. 230. Prakik ini dengan gamblang dan menyedihkan tergambar di dalam sebuah surat yang ditandatangani pada 1792 oleh sekelompok ahli hukum Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali yang dikirim kepada penguasa ‘Utsmani yang memohon bantuan untuk melawan kekejaman kelompok Wahhabi. Surat itu direproduksi sebagai yang pertama dari dua dokumen sejarah dalam al-’Ujlani, TArikh at-Bilad al- Arabiyyah al-Su’udiyyah, jilid pertama, bagian 2, huruf “dzal” hingga “ghin.”
32. Lihat risalah oleh mufti Mekah pada waku itu, Ahmad ibn Zaini Dahlan, al-Dawlat al-’Utsmaniyyah min Kitab al-Futuhat al- Islamiyyah (Istanbul: Hakikat Kitabevi, 1986), jilid kedua, h. 229-240. Untuk deskripsi mengenai kekejaman itu, lihat juga Algar, Wahhabism, h. 24-26.
Di dalam risalahnya itu Sulayman berpendapat bahwa orang-orang Wahhabi pada akhirnya bersikap seolah-olah mereka sendiri, setelah Islam melintasi sejarah selama berabad-abad, telah menemukan kebenaran tentang Islam dan merasa diri mereka sempurna. Sulayman mencatat bahwa dari sudut teologis, klaim ini sangat berbahaya. Mustahil umat Islam teperdaya dan salah memahami dan mengamalkan agama mereka untuk jangka waktu berabad-abad, dan kemudian menemukan kebenaran hanya sesudah Muhammad ibn Abd al- Wahhab dilahirkan di muka bumi. Sulayman menegaskan bahwa implikasi klaim seperti ini sangat mengancam iman umat Islam.33 Ia sangat berhati-hati untuk mencatat bahwa tindakan menuduh seorang muslim berstatus kafir adalah dosa besar di dalam Islam, dan bahkan Ibn Thaymiyyah, ulama yang dikagumi Abd al-Wahhab, melarang praktik takfir (menuduh muslim sebagai kafir).34 Untuk membuktikan pendapatnya, Sulayman memungkasi risalahnya dengan menyitir 52 hadis, yang dinisbahkan pada Nabi dan sebagian pada Sahabat Nabi, tentang dosa menuduh seorang muslim sebagai kafir atau musyrik.35
33. Sulayman ibn Abd al-Wahhab, al-Shawa’iq al-Illahiyyah, h. 17-19, 62-64, 70-77, 74-75, 80-82, 92, 100-102, 110-112. Untuk pandangan Rasyid Ridha tentang keunggulan tiga abad pertama Islam, lihat Muhammad Rasyid Ridha, Majallat al-Manar (Mansura, Mesir: Dar al-Wafa’, 1327), edisi 28, h. 502-504 (selanjutnya Ridha, al-Manar). Penilaian Ridha terhadap keunggulan tiga abad pertama itu sama dengan penilaian Abd al- Wahhab.
34. Sulayman ibn Abd al-Wahhab, al-Shawa’iq al-Illahiyyah, h., 48-49.
35. Sulayman ibn Abd al-Wahhab, al-Shawa’iq al-Illahiyyah, h., 121-142.
Saya sudah memfokuskan diri pada risalah Sulayman yang mengkritisi saudaranya dan gerakan Wahhabi, karena memang teks tersebut secara historis bernilai penting. Tidak mengherankan, risalah Sulayman dilarang oleh Arab Saudi, dan memang sudah ada upaya besar-besaran yang dilakukan di negara itu dan di lain tempat untuk mengubur risalah tersebut. Kini, karya penting itu tidak lagi dikenal di dunia Islam dan sangat sulit didapat. Saya harus berjuang keras untuk menemukannya. Bahkan di Mesir pun juga sulit. Tapi buku itu menyajikan satu gambaran kontekstual yang sangat kuat ihwal kelahiran gerakan puritan yang kelak memainkan peran penting pada abad ke-20 dan setelahnya. Gerakan Wahhabi akan menorehkan pengaruh kuat dalam menentukan keyakinan dan teologi semua gerakan puritan berikutnya., namun risalah Sulayman memperlihatkan bahwa banyak keyakinan dan praktik Wahhabisme dipandang sebagai suatu penyimpangan dan perusakan terhadap Islam arus utama.36 Islam puritan adalah satu penyimpangan yang dipandang sebagai sesuatu yang marginal di hadapan arus utama, dan beberapa ahli hukum, termasuk Sulayman, yakin bahwa Wahhabi akan menjadi fenomena yang berumur pendek.
36. John Lewis Burckhardt, al-Badw wa al-Wahhabiyyah, penerjemah: Muhammad al-Asyuti (Beirut: Dar Swidan, 1995), h. 250.
Sikap Para Ulama abad 12 -13 H
Para ahli hukum lain juga memberikan perhatian besar mengenai potensi bahaya yang dimunculkan Wahhabisme terhadap integritas etika Islam. Sulayrman ibn Suhaym (w. 1175H./1761 M.), ahli hukum bermazhab Hanbali dari Najd dan mantan pendukung Abd al-Wahhab, menulis risalah yang saat itu berpengaruh yang meminta para ahli hukum Islam untuk menyikapi ancaman Wahhabi secara serius dan mengambil tindakan aktif untuk menghadangnya.37
37. Risalah itu direproduksi dalam Husayn Ghannam, Rawdhat al- Afkar wa al-Afham Li Murtad Hal al-Imam wa Ti’dad Ghazawat Dzwi al- lslam (Riyadh: al-Maktabah al-Ahlilyah, 1949), jilid pertama, h. 111-113.
Beberapa ahli hukum arus utama yang menulis pada periode ini, seperti ulama bermazhab Hanafi, Ibn ‘Abidin (w. 1253 H./1,837 M.)’ dan ahli hukum bermazhab Maliki, al-Shawi (w. 1241′H./1825 M.), menggambarkan kaum Wahhabi sebagai kelompok fanatik, dan karena praktik kaum Wahhabi yang suka menumpahkan darah, ia menyebut mereka “Khawarij Islam modem”.38
38. Muhammad Amin Ibn Abidin, Hasyiyat Radd al-Mukhtar (Kairo: Mushthafa al-Babi, 1966), jilid keenam, h. 413; Ahmad al- Shawi, Hasyiyat al-Allamah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalayn (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-’Arabi, t.t.), jilid ketiga, h. 307-308. Lihat juga Ahmad Dallal, “The Origins and Objectives of Islamic Revivalist Thought, 1750-1850,” Journal of the American Oriental Society 113, No. 3 (1993), h. 341-359; al-Rihani, Tarikh Najd, h. 43-44. Tuduhan serupa, sebagai Khawarij Islam modern, dibuat dalam Sulaymnn ibn Abd al-Wahhab, al-Shawa’iq al- Illahiyyah, h. 10,28,50-51; Yusuf ibn Ahmad al-Dijjawi, “Tawhid al-Uluhiyyah wa Tawhid al-Rububiyyah,” Nurr al-Islam (juga dikenal sebagai Majallat al-Azhar: The Azhar University Journal) 1, No. 4 (1933), h. 320,329; al-Sayyid Muhammad al-Kutsayri, al-Salafiyyah bayn Ahl al-Sunah wa al-’Imamiyyah (Beirut: al- Ghadir li al-Thiba’ah, 1997), h. 345-452.
Khawarij adalah sekte keras dan fanatik yang’muncul di Semenanjung Arab pada awal Islam namun pada akhirnya lemah dan terpinggirkan. Seperti kelompok’Wahhabi, Khawarij memandang semua umat Islam, kecuali mereka, sebagai kaum kafir; dan seperti kelompok ‘Wahhabi, mereka juga membunuh sangat banyak umat Islam di Arabia. Khawarij bahkan membunuh Ali, yang tak lain adalah menantu Nabi yang dihormati dan khalifah keempat. Lama kelamaan, karena kebencian tiada henti dan kritik terhadap para ahli hukum klasik dan kampanye beruntun oleh banyak negara muslim, Khawarij dipaksa untuk berubah atau punah. Sekarang, kelompok sempalan baru yang lahir dari Khawarij asli adalah sebuah sekte yang dikenal sebagai Ibadhiyyah, yang hidup di Oman dan beberapa bagian Aljazair. Hukum dan teologi Ibadhiyyah tidak lagi seperti yang dimiliki pendahulu mereka yang fanatik. Pada kenyataannya, Ibadhiyyah ditekan untuk memoderatkan pandangan mereka dan menjadi jauh lebih dekat dengan muslim arus utama. Akan tetapi, sayangnya, prediksi banyak ahli hukum bahwa Wahhabisme niscaya bakal bernasib seperti Khawarij ternyata meleset.
Kesederhanaan, ketegasan, dan absolutisme pemikiran keagamaan Abd al-Wahhab menjadikannya menarik bagi suku-suku di gurun pasir, khususnya di wilayah Najd. Ketika itu, Najd di negara Saudi termasuk wilayah yang paling tribal, kurang berkembang, dan dihuni oleh kelompok masyarakat yang kurang beragam. Akan tetapi, pada akhirnya, ide-ide Abd al-Wahhab terlampau radikal dan ekstrem untuk meraup pengaruh luas di dunia Arab, apalagi di seluruh dunia Islam. Para sarjana kontemporer sudah menegaskan relatif marginalnya pemikiran ekstremis Wahhabi pada abad ke-18 dan ke-19, dan telah menunjukkan bahwa pemikiran revivalis moderat seperti Muhammad al-Syawkani (w. 1250 H./7834 M.) dan Ali Jahl al-Shan’ani (w. 1225 H./1810 M.) cukup berbeda dengan pemikiran V/ahhabi, dan jauh lebih berpengaruh pada waktu itu.39
39. Lihat Dallal, “The Origins and Objectives of Islamic Revivalist Thought, 1750-1850,” h. 341-359.
Aliansi Dengan Al- Saud
Cukup mungkin bahwa ide-ide Abd al-Wahhab tidak akan meluas, bahkan di Arab, andai saja pada akhir abad ke-19 keluarga Al Sa’ud tidak menggabungkan diri dengan gerakan Wahhabi dan berperang melawan kekuasaan Dinasti ‘Utsmani di Semenanjung Arab. Dengan memadukan semangat keagamaan dan nasionalisne Arab yang kuat, pemberontakan itu sangat besar dampaknya, hingga mencapai Damaskus di utara dan Oman di Selatan. Balatentara Mesir di bawah kepemimpinan Muhammad Ali pada 1818, sesudah beberapa kali ekspedisi yang gegal, berhasil memadamkan pemberontakan itu, dan Wahhabisme, seperti gerakan ekstremis lain dalam sejarah Islam, tampaknya menemui jalan kepunahannya.40 Tetapi ternyata tidak demikian.
40. D. Van der Meulen, The Wells of lbn Sa’ud (London: Kegan Paul International Publications, 2000), h. 35-36.
Aliansi Al Saud/W’ahhabi sejak 1745 hingga 1818 dikenal sebagai negera Saudi pertama, yang berakhir tatkala militer Mesir dan Turki menghancurkan kota al-Dir’iyyah, ibu kota kerajaan Saudi pertama, dan membantai penduduknya. Pembunuhan massal ini benar-benar membekas dalam memori kaum Wahhabi dan membakar semangat mereka dengan menjadikan sebagai simbol penderitaan dan pengorbanan mereka.
Ideologi Wahhabi dihidupkan kembali sekali lagi pada awal abad ke-20 di bawah kepemimpinan Abd al-’Aziz ibn al-Saud (memerintah 1319-1373 H-/1902-1953 M.), pendiri negara Saudi modern, yang menganut teologi puritan kaum Wahhabi dan menggabungkan dirinya dengan suku-suku Najd. Inilah yang menjadi cikal-bakal negara Arab Saudi. Pemberontakan Wahhabi pertama di Semenanjung Arab pada abad ke-18 bertujuan menggulingkan kendali ‘Utsmani dan memperkuat jenis Islam puritannya Abd al-Wahhab ke dunia Arab, sebanyakbanyaknya. Kaum Wahhabi juga berupaya mengontrol Mekah dan Madinah, dan dengan melakukan itu, mendapatkan kemenangan simbolis yang besar dengan mengendalikan pusat spiritual dunia Islam.41
41. Al-Freih, “Historical Background,” h. 339-351.
Meskipun pemberontakan pada abad ke-18 digagalkan, pemberontakan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 melahirkan satu situasi yang sangat berbeda. Dari abad ke-17 hingga awal abad ke 20, Semenanjung Arab merupakan masyarakat yang sangat tribal dengan sejumlah besar keluarga terkemuka yarrg saling bersaing berebut dominasi dri antara yang lain. Namun wilayah Hijaz di Arab, berbeda dengan wilayah Najd, secara kultural sangatlah beragam; semua bentuk kebiasaan dan orientasi teologis ada di sana, membentuk suatu mozaik kompleks keyakinan dan praktik. Bahkan dalam bidang yurisprudensi, di Mekah dan Madinah, yang berada di Hijaz, terdapat sekolah hukum dan hakim bermazhab Syafi i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Juga ada perkumpulan sufi dan ahli hukum Syiah, terlepas dari populasi Syiah yang sangat besar di bagian-bagian lain di Hijaz. Ibadah haji tiap tahun ke Mekah tampak laksana satu festival dari beragam praktik dan ritual yang mencerminkan keragaman dunia Islam itu sendiri, yang kesemuanya terakomodasi dan dihormati oleh penguasa ‘Utsmani. Keragaman keyakinan, teologi, ritual, dan praktik merupakan kutukan bagi kaum Wahhabi, dan salah satu tujuan yang dinyatakan mereka adalah menjadikan semua pengunjung tempat-tempat suci itu untuk beribadah sesuai dengan satu versi ritual, yang mereka pandang sebagai satu-satunya praktik keimanan yang benar.
Aliansi TriTunggal, Al Saud – Wahhabi – Inggris
Sebuah tritunggal telah terbentuk dan hendak mengubah wajah Semenanjung Arab untuk selanjutnya, dan mungkin juga negara-negara muslim. Tri tunggal ini terdiri atas keluarga Al Sa’ud, kaum Wahhabi, dan Inggris. Keluarga Al Sa’ud ingin mengalahkan semua pesaing lain dan menguasai Arabia. Kelompok Wahhabi ingin memperkuat citra puritan Islam di seluruh Arab. Inggris menginginkan pemerintahan kuat di Arabia yang kelak dapat melayani kepentingan-kepentingan Inggris dengan memberikan konsesi eksklusif pertambangan minyak kepada perusahaan-perusahaan Ingris. Inggris juga ingin memperlemah Dinasti ‘Utsmani dengan menjauhkan Mekah dan Madinah dari kendali mereka. Untuk mencapai tujuannya, dengan agak oportunis, Inggris tidak hanya mendukung keluarga Al Sa’ud; mulanya Ingris mendukung beberapa keluarga kuat secara bersamaan, seperti keluarga Rasyidi, Banu Khalid, dan Al Sa’ud, yang ke semuanya berebut dominasi atas Semenanjung Arab.42
42. Tentang kisah keterlibatan Inggris di Arabia dan dukungan Inggris terhadap Al Sa’ud, lihat Efram Karsh dan Inari Karsh, Empires of Sand: The Strugle for Mastery in the Middle East, 1789-1923 (Cambridge, MA: Harvard LJniversity Press, 1999), khususnya h. l7l-198.
Hubungan antara Al Sa’ud dan wahhabi bisa dirunut dari tahun 1744, tatkala Muhammad Ibn Sa’ud (w. 1762), penguasa al-Dir’iyyah, sebuah kota kecil di Najd, memberi perlindungan dan sebuah basis teritorial kepada Abd al-wahhab, ketika para ahli hukum Najd memprotes keras Abd al-wahhab lantaran tindakan fanatik dan tindakan-tindakannya yang tak berlandasan. Dengan menggabungkan diri bersama kaum Wahhabi, keluarga Al Sa’ud memperoleh kekuatan perang yang penuh semangat dan ideolog yang memberinya keuntungan yang nyata atas keluarga-keluarga lain untuk membantu mempersembahkan kemenangan dan kekuasaan buat Inggris. Al Sa’ud menyediakan dukungan finansial kepada kelompok Wahhabi dan, lewat koneksi Inggris mereka, persenjataan yang memang sangat dibutuhkan. Pada gilirannya, sesudah menaklukkan teritori dan menempatkan Al Sa’ud sebagai penguasa politik yang sah, kaum wahhabi berharap keluarga Al Sa’ud memberi mereka kendali bebas atas semua urusan agama. Dengan hasil kerja sama ini, pada abad ke-20 akhirnya Al Sa’ud mendapatkan perhatian penuh dari Inggris, yang menggunakan seluruh kekuatannya untuk mendukung keluarga Al Sa’ud sebagai penguasa sah wilayah yang kemudian menjadi Arab Saudi.43
43. Tentang aliansi intim antara Al Sa’ud dan Inggris, lihat Algar, Wahhabism, h. 37-45; James Wynbrandt, A Brief History of Saudi Arabia (New York Checkmark Books, 2004), h. 176-193; dan Nasir al-Faraj, Qiyam al-Arsy al-Su’udi: Dirasah Tarikhiyyah li al-’ Illaqat al- Su’udiyyah al-Britaniyyah (London: al-Safa Publisher, t.t.).
Meskipun aliansi antara Al Sa’ud dan Inggris, sebuah aliansi muslim/nonmuslim, tidak konsisten dengan ajaran Wahhabi, penting kiranya disadari bahwa menurut Al Sa’ud dan wahhabi, aliansi mereka tidak termotivasi oleh dorongan praktis dan kemudahan, melainkan oleh kesamaan motivasi ideologis yang sungguh-sungguh dan keyakinan yang tulus. Mengikuti pandangan ini, Al Sa’ud beralih ke paham Wahhabi, dan kedua kekuatan itu membentuk satu perpaduan (tak) suci yang terus berlanjut hingga kini. Apakah karena kemudahan atau keyakinan, ikatan antara Al Sa’ud dan Wahhabi mcnjadi sangar kuat.44 Nyatanya, orang-orang Wahhabi menghancurkan semua keragaman yeng pernah eksis di wilayah Hijaz, khususnya di Mekah, Madinah, dan Jeddah, dan mereka memaksa semua orang Arab untuk tunduk pada kekuasaan Al Sa’ud.45
44. Gerald de Gaury Rulers of Mecca (London: Harrap, 1951), 275. Penulis buku ini berpendapat bahwa aliansi Ibn Sa’ud dengan orang-orang Wahhabi ditempa lantaran keyakinan.
45. Tentang perusakan keragaman intelekual di dua kota suci itu, lihat Algar, Wahhabism, h. 44.
Penting untuk dicatat bahwa pada berbagai tahap yang mengantar pada berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada 1932- negara Saudi pertama yang gagal (1745-1818), negara kedua yang juga gagal (kira-kira dari 7824 hingga 7891), atau yang ketiga, negara yang berhasil bertahan (dimulai pada 1902 dan berlanjut hingga l932) – keluarga Al Sa’ud dan W’ahhabi telah meninggalkan jejak intoleransi, kebencian, dan fanatisme yang luar biasa, yang berujung pada berbagai aksi kekerasan, pembantaian, dan tindakan kejam. Warisan tak manusiawi ini menjadi bagian dari masa silam yang akan terus membayangi negara Saudi serta membentuk sensibilitas etis terhadap tipe Islam yang diajarkan Wahhabi dan disebarluaskan ke seluruh dunia Islam. Daftar dosa Saudi-Wahhabi yang berupa aksi intoleran dan tindakan kejam tentunya sangat panjang. Misalnya, berbagai pemberonrakan Wahhabi pada abad ke-19 dan ke-20 telah sangat banyak menumpahkan darah, karena orang-orang Wahhabi tanpa pandang bulu membantai kaum muslim, terutama mereka yang masuk dalam perkumpulan sufi dan sekte Syiah. Pada 1802, umpamanya, tentara Wahhabi membantai penduduk Karbala yang menganut Syiah,46 dan pada 1803, 1804, dan 1806, Wahhabi mengeksekusi sangat banyak orang Suni di Mekah dan Madinah, yeng mereka pandang, untuk satu atau lain alasan, sebagai pelaku bidah.47 Jumlah mereka yang dieksekusi dan dibantai oleh aliansi Saudi-Wahhabi tak pernah bisa dihitung. Namun dari catatan sejarah jelaslah bahwa jumlahnya berada dalam kisaran puluhan ribu, jika tidak lebih. Pada saat penaklukan tahap kedua di Semenanjung Arab, misalnya, atas perintah al Sa’ud, Wahhabi mengeksekusi rnassal 40.000 orang dan mengarnputasi 350.000 orang. 48
46. Tentang tindakan brutal yang dilakukan di Karbala, lihat Algar, Wahhabism, h. 24.
47. Tentang deskripsi yang menyayat hati mengenai brutalitas wahhabi yang dilakukan di Karbala dan tempat-tempat lain, lihat al-Sayyid Muhammad al-Kutsayri, al-Salafiyyah bayn Ahl al-Sunah wa al- ‘Imamiyyah (Beirut: al- Ghadir li al- Thiba’ah, 1997), h. 327-339.
48. Ahmad ibn Zini Dahlan, Futuhat al-Islamiyyah ba’d Mudiy al- Futuhat al-Nabawiyyah (Beirut: Dar Shadir, 1997), jilid kedua, h. 234-245. Algar, Wahhabism, h. 42; Van der Muelen, The Wells of Ibn Sa’ud, h. 33-34; Geoff Simons, Saudi Arabia: The Shape of a Client Feudalism (Palgrave, UK: Macmillan, I998), h. 151-173. Untuk survei historis tentang hal ini dan peristiwa-peristiwa sesudah itu, lihat Joseph Kostiner, The Making of saudi Arabia: From chieftaincy to Monarchical State (Oxford: Oxford University Press, 1993), h. 62-70, 100-117; Joseph A. Kechichian, Succession in Saudi Arabia (New York Palgrave Press, 2001), h. 161-168; Richard Harlakenden Sanger, The Arabian Peninsula (Freeport, NY: Books for Libraries press, 1954), h. 27-35.
Pada 1912, Raja Abd al-’Aziz, dari keluarga Al Sa’ud membentuk kekuatan militer yang dikenal dengan sebutan Ikhwan, yang terdiri atas orang-orang fanatik dari Najd yang sangat berkomitmen untuk membela pemikiran Abd al- Wahhab. Kekuatan perang Ikhwan disusun dengan tujuan yang jelas, yaitu menguasai Semenanjung Arab, menundukkan semua pesaing yang berebut kekuasaan, dan membangun negara Islam yang didirikan berdasarkan ajaran keagamaan Abd al-wahhab. Ikhwan memainkan peran efektif dalam membangun dan memperluas kendali raja. Namun pada akhirnya mereka tak puas dengan apa yang mereka lihat sebagai liberalisme dan keinginan Raja untuk bekerja sama dengan kaum nonmuslim-dalam hal ini Inggris. Sesungguhnya, Abd al-’Aziz dipaksa untuk memetik pelajaran yang dengan sangat menyakitkan berulang lagi beberapa dekade berikutnya lewat pengalaman pemerintah Saudi dengan al-Qaeda: amuk fanatisme tidak bisa dengan mudah dikontrol atau dimanipulasi oleh pemerintahan apapun. Abd al-Aziz telah memberi kesempatan bebas untuk kelompok Ikhwan dalam membantai umat Islam di Arab, khususnya di Hijaz dan Yaman. Akan tetapi, berakar pada ekstremisme, Ikhwan tidak bahagia dengan instruksi Abd al-’Aziz yang membolehkan digunakannya temuan modern seperti telegraf, telegram, mobil, dan pesawat udara di dalam teritori yang berada di bawah kontrol Saudi. Lebih buruk lagi, Ikhwan mulai melakukan eksekusi dan pembantaian di Irak dan di daerah lain yang kini menjadi wilayah Yordania. Mereka menegaskan hak mereka untuk terus menyebarkan paham Wahhabi tanpa menghiraukan batas-batas teritorial yang ditentukan Ingris. Pada saat itu, wilayah tersebut berada di bawah pendudukan Inggris, dan pembantaian yang dilakukan kelompok Ikhwan itu sangat mempermalukan pemerintah Inggris karena pembarrtaian itu rnenimpa para penduduk yang secara hukumn wajib dilindungi Inggris. Selain itu, pada saat serangan dilancarkan, Ikhwan juga bentrok dengan dan membunuh tentara Inggris. Pada 1915, Raja ‘Abd al Aziz telah menandatangani sebuah pakta ”persahabatan dan kerja sama” dengan Inggris, dan ia menerima tunjangan hidup bulanan yang sangat besar dari pemerintah Inggris yang tak bisa ia cegah.
Ikhwan juga mulai memiliki kebiasaan menyerang dan menghukum jamaah haji yang datang dari seluruh negara muslim ke Mekah karena menjalankan apa yang menurut Wahhabi dipandang sebagai ritual yang tidak islami. Dalam banyak kasus, Ikhwan mencambuk dan bahkan mengeksekusi jamaah haji yang melakukan ritual yang bertentangan dengan pemahaman Wahhabi mengenai hukum Islam, sekalipun menurut mazhab pemikiran lain ritual tersebut dinilai sangat sah. Tidak mengejutkan, dalam konteks ‘Abd al-’Aziz yang bekerja keras untuk memperkuat aliansi politik yang mengokohkannya di hadapan musuh-musuhnya di Semenanjung Arab, tindakan Ikhwan ini menyebabkan krisis diplomatik, tidak hanya dengan Inggris, melainkan juga dengan negara-negara muslim lainnya.
Penghancuran Tempat-Tempat Bersejarah
Raja Abd al-’Aziz coba mencegah Ikhwan dari merebut wilayah yang berada di bawah kekuasaan Inggris, dan juga coba mengendalikan Ikhwan dari mencampuri urusan jamaah haji. Namun Ikhwan merasa tersakiti oleh apa yang mereka lihat sebagai kemauan Raja Abd al-’Lziz untuk berkompromi dengan para pelaku bidah dan praktik jahat mereka. Akibatnya, Ikhwan memberontak melawan Raja pada 1929. Namun, dengan bantuan Inggris yang menggunakan kekuatan udara untuk membantai mereka, Abd al-Aziz mengalahkan dan membubarkan kelompok tentara Ikhwan.49 Selayaknyalah Inggris memberi ganjaran atas loyalitas mereka dengan menaikkan tunjangan Raja Abd al-Aziz dan menganugerahinya suatu gelar kekesatriaan pada l935,50 (ia dianugerahi gelar kesatria Ordo Bath, Ordo Bath adalah sekumpulan orang yang mendapatkan gelar kehormatan “Sir’/Dame” karena prestasi mereka-peny’). Walaupun kelompok Ikhwan sudah dibubarkan, tidak berarti keluarga Sa’ud meninggalkan paham Wahhabi. Ini sungguh sangat mustahil. Antara wahhabisme dan Al Sa’ud telah terjalin hubungan yang saling membutuhkan; yang satu tak bisa eksis tanpa yang lain. Pada waktu itu, kaum Wahhabi melayani negara atau mereka yang memegang tampuk kekuasaan, sebagaimana negara atau pemegang kekuasaan melayani kaum Wahhabi.
49. Van der Muelen, The Wells of Ibn Sa’ud, h. 65-68; Kostiner, The Making of Saudi Arabia, h. 117-140; Wynbrandt, Saudi Arabia, h. 184-186.
50. Algar, Wahhabism, h. 39.
Di wilayah-wilayah yang jatuh ke dalam kekuasaan mereka, kaum wahhabi memperkenalkan praktik yang secara luar biasa memperluas kekuasaan intrusif negara kepada para pelaksana hukum yang mendefinisikan aturan dan tata perilaku secara sempit, yang menurut mereka dipandang sebagai satu-satunya Islam yang benar. Hubungan arrtara keluarga Al Sa’ud dan Wahhabi berlangsung dengan baik, lebih dari sekadar hubungan pragmatis dan saling memberi dukungan. Saudi dan Wahhabi menemukan satu model untuk menjawab persoalan tentang bagaimana negara Islam seharusnya bertindak di dunia modern.Menurut model ini, yang kemudian sangat berpengaruh di kalangan muslim puritan, kekuasaan intrusif negara yang baru sungguh-sungguh membatasi kebebasan individu dan memaksa orang yang menentang untuk menaati tata perilaku yang sangat spesifik-semuanya dilakukan dengan alasan untuk memperkuat hukum Tuhan. Alih-alih negara merangkul dan menoleransi praktik agama dan budaya yeng berbeda, seperti terjadi di Mekah dan Madinah pada masa ‘Utsmani, misalnya, negera memberangus semua bentuk pluralisme agama dan memaksakan ortodoksi yang kaku. Dalam model Saudi, negara mencipta dan memperkuat apa yang pada akhirnya disebut unit polisi agama: unit polisi agama ini memainkan peran ganda, yaitu memaksakan ortodoksi kaku yang didukung negara dan menghancurkan semua wujud keragaman atau perbedaan pendapat. Tanpa kecuali, tindakan Wahhabi dilakukan dengan dalih untuk memperkuat hukum Tuhan. Kenyataannya, tindakan mereka itu hanya menguatkan pandangan mereka yang sangat sempit dan ganjil tentang hukum Islam yang sangat berbeda dengan keyakinan dan praktik kaum muslim yang hingga sekarang masih tetap bertahan. Misalnya, Wahhabi secara berkala memberi hukuman cambuk kepada para penghuni wilayah yang ada di bawah kekuasaan mereka karena mendengarkan musik, mencukur janggutnya, memakai sutra atau emas (ini berlaku hanya untuk laki-laki), merokok, bermain dadu, catur, atau kartu, atau tak mematuhi aturan ketat menyangkut pemisahan jenis kelamin. Dan, mereka menghancurkan semua tempat keramat dan banyak monumen bersejarah Islam yang didirikan di Semenanjung Arab.51
51. Simons, Saudi Arabia, h. 152-159; Kostiner, The Making of Saudi Arabia, h. 119; Van der Meulen, The Wells of Ibn Sa’ud, h. 62-113.
Praktik perusakan batu nisan keluarga Nabi dan para Sahabat yang dilakukan kaum Wahhabi menyebabkan trauma dan kontroversi besar-besaran di dunia Islam.52 Seperti perusakan patung-patung Buddha yang dilakukan Taliban di Afghanistan, perusakan nisan keluarga Nabi dan para Sahabat di Mekah, Madinah, dan Jubila belum pernah terjadi sebelumnya dalam perjalanan sejarah Islam. Batu nisan ini dipelihara dan dimuliakan oleh umat Islam selama ribuan tahun dan beberapa tempat pemakaman itu menjadi tempat keramat, yang dikunjungi jutaan umat Islam selama berabad-abad.53
52. Algar, Wahhabism, h. 43. Untuk catatan detail tentang penghancuran tempat-tempat bersejarah oleh kaum Wahhabi, lihat, Yusuf al- Hajiri, al-Baqi’ Qisat Tadmir Al Sa’ud li al-Atsar al- Islamiyyah bi al- Hijaz (Beirut: Mu’assassat al-Baqi’, 1990). John Lewis Burckhard, al-Badu’ wa al- Wahhabiyyah, penerjemah: Muhammad al-Asyuti (Beirut: Dir Swidan, 1995), h. 244-250; al-Sayyid Muhammad al-Kutsayri, al-Salafiyyah bayn Ahl al-Sunah wa al-Imamiyyah (Beirut: al-Ghadir li al-Thiba’ah, 7997), h. 331.
53. Algar, Wahhabism, h., 25- 28.
Dalam tindakan lain yang belum pernah terjadi sebelumnya yang melukai perasaan banyak muslim, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menebang pohon (yang dikenal sebagai Syajarat al-Dzib) di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Wadi Hanifa dekat Jubila-sebuah pohon yang berusia lebih dari seribu tahun dan memiliki arti sejarah yang penting.54 Perusakan yang tak beralasan terhadap tempat-tempat bersejarah ini semuanya dilakukan demi melindungi islam dari ancaman teradopsinya kernbali praktik-praktik kaum pagan.
54. Al-Rihani, Tarikh Najd, h. 38-39.
Mereka juga memperkenalkan praktik yang menurut catatan sejarah pertama kali dilakukan, yaitu mengecek kehadiran warga pada waktu salat: mereka menyiapkan daftar warga kota dan memanggili nama-nama mereka setiap salat lima waktu di masjid; siapa yang absen tanpa alasan yang dapat diterima, ia akan dicambuk.55
55. John Lewis Burckhardt, al-Badw wa al-Wahhabiyyah, penerjemah: Muhammad al-Asyuti (Beirut: Dir Swidan, 1995), h.244.
Peran Strategis Sebagai Penguasa Mekah dan Madinah
Dengan menjadi penjaga Mekah dan Madinah, kaum Wahhabi secara unik mengambil posisi untuk memaksakan versi ortodoksi mereka terhadap jamaah haji dari seluruh dunia. Sebagai indikasi dari popularitas-ajaran, Wahhabi yang terbatas pada tahap perkembangannya, praktik keras tak kenal kompromi kaum Wafthabi pada musim haji menyebabkan beberapa benturan dengan jamaah haji dari Afrika dan Asia Tengara. Pada 1926, misalnya kebencian kaum Wahhabi pada semua bentuk instrumen musik melahirkan kemelut arrtera Mesir dan Arab Saudi, ketika prajurit Mesir yang memikul tandu seremonial untuk membunyikan terompet pada waktu haji diserang dan diganggu, dan alat musik mereka dihancurkan. Kemelut ini berakhir ketika Raja Abd al Aziz membuat pernyataan yang mendamaikan kepada pemerintah Mesir, tetapi baru pada tahun-tahun belakangan ini saja orang Mesir bisa menjalankan acara tahunan mereka dengan meniup terompet dan musik. Kaum Wahhabi juga melarang semua bentuk nyanyian dan tarian sufi di Mekah dan Madinah, dan akhirnya di semua bagian Arab Saudi.56
56. Lihat, tentang peristiwa ini dan yang lain, Michael Cook, Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thaught (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), h. 180-191; Van der Meulen, The Wells of Ibn Sa’ud, h. 104-113. Dilaporkan, media massa Mesir dengan sungguh-sungguh mengkritisi kalangan Wahhabi atas insiden ini, lihat Ridha, al-Manar, edisi 27, h. 463-468.
Salah satu tindakan yang dilakukan Abd al- Wahhab di Arab yang dipermasalahkan dan ditentang besar-besaran adalah hukuman rajam hingga mati terhadap perempuan yang berzina. Sumber-sumber kesejarahan menyatakan bahwa tak ada orang yang dirajam hingga mati di Arab dalam bentangan waktu yang sangat panjang, dan bahwa banyak ahli hukum merasa terkejut oleh apa yang mereka pandang sebagai eksekusi tak manusiawi terhadap perempuan itu.57 Laporan sejarah ini sangat menarik untuk dicermati, karena sekarang ini merajam orang hingga mati dilakukan sepanjang waktu di Arab Saudi–dan orang-orang sama sekali tak merasa heran dengan praktik semacam itu.
57. Al-Rihani, Tarikh Najd, h. 39.
Sebelum mereka memperkuat basis kekuasaan mereka di Arab, kaum Wahhabi, dengan praktik fanatik dan kejam, kerap memicu protes luas dari negara-negara Islam Arab dan non- Arab, sehingga menimbulkan situasi yang secara politik memalukan bagi keluarga Al Sa’ud. Agar tidak kehilangan dukungan politik yang dibutuhkan dari negara-negara muslim, Saudi (baik sebelum dan sesudah negara modern Arab Saudi didirikan) sering menyikapi situasi memalukan ini dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mendamaikan dan ditujukan untuk meredam kecemasan umat Islam tentang apa yang akan terjadi dengan tempat suci Mekah dan Madinah.58 Akan tetapi, selain keadaan yang memaksa diambilnya tindak kekerasan untuk mengatasi pemberontakan Ikhwan pada 1929, para penguasa Al Sa’ud mengurangi pembatasan atau mulai memoderasi praktik Wahhabi. Sepanjang dekade 1930-an dan 1940-en, pemerintah Saudi mengatasi semua rasa keterkekangan berkenaan dengan praktik fanatik Wahhabisme, dan memperkuat klaimnya atas tempat-tempat suci di Mekah dan Madinah. Pada dekade 1950-an, pemerintah Saudi tidak lagi membuat pemyaaan yang bersifat mendamaikan terhadap negara-negara muslim atau meminta maaf atas praktik dan dampak perbuatan kaum Wahhabi. Sementara terus mengandalkan dukungan pada pemerintah Inggris (dan kemudian pemerintah Amerika juga), pemerintah Saudi tidak lagi membutuhkan dukungan dari negara-negara muslim lain. Wahhabisme telah berdiri tegak di Arab Saudi dan juga di pusat nadi Islam, Mekah dan Madinah. Dikarenakan faktor ganda, yaitu dukungan non-muslim dan penemuan minyak, pemerintah Saudi mulai menangkis kritik yang dilancarkan negara-negara muslim moderat.
58. De Gaury, Rulers of Mecca, h. 276.
Saudi Mengeksport Keyakinan Wahhabisme ke Seluruh Dunia
Negara-negara itu tak menemukan cara untuk dapat rnenekan pemerintah Saudi secara efektif dan memengaruhi jenis Islam yang sudah dominan di tanah suci, dan pemerintah Saudi benar-benar tak punya dorongan untuk memodifikasi atau memoderasi keyakinan yeng dipeluknya. Akan tetapi, tahun 1970-an betul-betul menjadi titik perubahan penting bagi Arab Saudi dan dunia muslim. Sebelum 1970-an, Saudi bertindak seakan-akan Wahhabisme adalah sebuah urusan internal yang dengan baik diadaptasi untuk kebutuhan asli masyarakat dan budaya Saudi. Tahun 1970-an menjadi titik balik karena pemerintah Saudi memutuskan untuk menjalankan satu kampanye sistematis guna secara agresif “mengekspor” keyakinan Wahhabi ke seluruh negara muslim.59
59. Tentang kebijakan-kebijakan agresif Arab Saudi dalam menyebarkan ajaran Wahhabi di negara-negara muslim, lihat Nabil Muhammad Rasywan, al-Islam al-Su’udi Dur al-Su’udiyyin fi Ifsad Din al-Muslimin. Buku ini juga tidak mencantumkan keterangan tempat, tanggal, atau nama penerbitnya.
Ringkasnya, empat faktor utama berperan bagi tetap hidup dan meluasnya paham Wahhabi di dunia Islam kontemporer:
1. Dengan memberontak melawan Dinasti ‘Utsmani, Wahhabisme menyeru untuk mendukung ideologi nasionalisme Arab yang muncul pada abad ke-18. Dengan memperlakukan pemerintah muslim ‘Utsmani sebagai kekuatan asing yang berkuasa, Wahhabi menciptakan satu preseden kuat bagi tertanamnya benih-benih determinasi diri dan otonomi bangsa Arab.
2. Seperti dicatat di atas, Wahhabisme mendorong umat Islam untuk kembali pada apa yang oleh Abd al-V/ahhab dipandang sebagai Islam yang asli dan murni. Karena itu, Wahhabisme menolak seluruh pengalaman historis dan mendesak untuk kembali pada contoh para generasi awal (al-salaf al-sholeh) yang “terbimbing dengan benar”. Ungkapan “generasi awal yang terbimbing dengan benar” merujuk pada generasi para Sahabat Nabi dan generasi sesudalrnya (gcnerasi penerus—al tabi’in). Dan generasi penerus ini dilihat dari sudut idealistik, dan mereka sering disitir sebagai contoh yang harus ditiru. Ide Wahhabi ini sebenarnya mengandung arti pembebasan yang sejalan dengan semangat kaum reformis muslim, karena hal itu berarti lahirnya kembali ijtihad, atau kembali ke pengujian dan penentuan isu-isu hukum tanpa harus terbebani oleh preseden dan doktrin-doktrin yang diwariskan. Dengan kata lain, ide melepaskan masa silam berikut muatan yangdimilikinya dan memulai sesuatu yang segar adalah hal yang membebaskan. Paling tidak, secara teoretis, umat Islam dapat menggunakan ijtihad (analisis dan pemikiran independen dan baru) untuk rrrlihat dengan mata baru pada sumber-sumber orisinal Alquran dan Sunah hinggadapat tiba pada interpretasi dan solusi baru bagi problem-problem masa kini tanpa dibebani oleh masa silam. Menurut kaum Wahhabi, satu-satunya masa lalu yang relevan dan mengikat adalah yang telah dicipta oleh Nabi, para Sahabat. dan tabiin.
3. Dengan memegang kendali atas Mekah dan Madinah, Arab Saudi dapat memerankan pengaruh yang luar biasa pada budaya dan pemikiran umat Islam. Tempat-tempat suci- Mekah dan Madinah-adalah jantung simbolis Islam dan tempat jutaan kaum muslim menunaikan ibadah haji setiap tahun. Dengan mengatur apa yang dipandang sebagai keyakinan dan praktik yang sah pada saat pelaksanaan ibadah haji, Arab Saudi menjadi mulai memengaruhi sistem keyakinan Islam itu sendiri. Misalnya, untuk tujuan yang semata simbolis, raja Arab Saudi menyandang gelar sebagai penjaga dan pelayan umat Islam (khadim al-haramayn). Kenyataannya, gelar itu hanya menegaskan posisi moral otoritas raja Saudi yang diklaimkan untuk dirinya sendiri dalam kaitannya dengan dunia Islam.
4. Barangkali yarrg paling penting untuk dicatat adalah penemuan dan pemanfaatan sumber daya minyak di Arab Saudi yang menjadi sumber dana segar yang melimpah untuk negara itu. Khususnya, setelah 1975, dengan naiknya harga minyak, Arab Saudi dengan agresif mendukung promosi pemikiran Wahhabi ke seluruh dunia. Bahkan, jika kita mencermati sepintas lalu pada sejumlah ide dan praktik dominan yang secara khusus ditemukan di masjid-masjid, akan terlihat betapa luas pengaruh pemikiran Wahhabi pada dunia Islam saat ini.
Sebagian alasan bagi dilancarkannya kampanye agresif Arab Saudi untuk memperluas corak keyakinannya terkait dengan elemen ketiga sebagaimana disebut di atas. Sebagai penjaga dua tempat suci, secara politis Arab Saudi akan terlihat aneh jika memiliki sistem keyakinan yang berbeda dengan dunia Islam lainnya. Lebih tegas lagi, status sebagai penjaga tempat-tempat suci itu bernilai sensitif di dunia Islam, dan klaim kedaulatan eksklusif Saudi atas tempat-tempat ini tetap masih problematik sejak 1920-an hingga 1960-en, khususnya karena sikap intoleran Wahhabi terhadap praktik ritual yang mereka pandang tidak benar. Pada 1950-an dzn 1960-an, Arab Saudi mendapat tekanan sangat besar dari rezim-rezim republikan dan nasionalis Arab yang cenderung melihat sistem Saudi sebagai sesuatu yang kuno dan reaksioner. Rezim nasionalis Arab, khususnya rezim Gamal Abdel Nasser di Mesir, bercorak sekuler, sangat sosialis, dan revolusioner. Pemerintahan Arab Saudi dan negara-negara Teluk lain yang menganut sistem dinasti, kapitalistik, dan teokratis dipandang terbelakang secara historis dan antirevolusioner. Menurut nasionalis Arab revolusioner, Arab Saudi adalah negara buatan yang dibentuk oleh kekuatan kolonial dalam rangka memenuhi kepentingan imperialisme Barat. Oleh karena itu, Gamal Abdel Nasser, misalnya, tidak hanya menentang status Saudi sebagai penjaga tempat-tempat suci, tapi ia juga berupaya menggulingkan pemerintah Arab Saudi. Pada 1970-an, Arab Saudi akhirnya memiliki sarana finansial untuk memperkuat legitimasinya. Kaum Wahhabi harus mengubah sistem keyakinannya sendiri untuk membuatnya lebih sejalan dengan keyakinan kaum muslim lainnya, atau mereka harus agresif menyebarkan keyakinan mereka ke seluruh dunia muslim. Pilihan pertama mensyaratkan rezim Saudi mengubah dirinya. Namun, dalam banyak hal, rezim Saudi merasa lebih mudah untuk berusaha mengubah dunia Islam. Itulah opsi yang mereka pilih. Akibatnya, pemerintah Arab Saudi melancarkan kampanye yang bertujuan mengubah negara-negara muslim dengan menyebarkan ideologi Wahhabi ke seluruh dunia sebagai satu-satunya bentuk Islam yang benar.60
60. Aburish, Nasser, h. 162, 256-257, 303.
Awalnya, proses penyebaran ini dilakukan dengan memberikan dukungan finansial pada organisasi-organissi penting, namun pada 1980-an, proses ini menjadi lebih canggih dan menyeluruh. Demikianlah, Arab Saudi, misalnya, menciptakan organisasi perwakilan seperti Liga Muslim Dunia (Rabithahal- ‘Alam al-Islami), yang secara luas mendistribusikan literatur Wahhabi dalam semua bahasa utama dunia, memberikan hadiah dan sumbangan, serta menyediakan dana untuk jaringan penerbit, sekolah, masjid, organisasi, dan perseorangan yang begitu banyak. Efek kampanye ini adalah banyak gerakan Islam di seluruh dunia menjadi pendukung teologi Wahhabi. Selain itu, sejumlah besar institusi, seperti sekolah, penerbit buku, majalah, koran, atau bahkan pemerintahan, dan juga perseorangan, seperti imam, guru, atau penulis, belajar mengubah perilaku, ucapan, dan pikiran mereka sedemikian rupa sehinga bisa mendapatkan keuntungan dari donasi Saudi. Di banyak belahan dunia muslim, jenis ucapan dan tindakan yang salah (seperti tidak mengenakan atau menganjurkan jilbab) berarti sama dengan penolakan terhadap donasi Saudi, dan dalam banyak konteks berarti perbedaan antara menikmati standar hidup yang layak atau hidup dalam kemiskinan yang hina.
Meskipun demikian, penting dicatat bahwa Wahhabisme tidak tersebar di dunia muslim modern di bawah benderanya sendiri. Mengingat asal-usul keyakinan Wahhabi yang marginal, persebaran yang bersifat massif sulit dilaksanakan. Wahhabisme menyebar ke dunia muslim di bawah bendera Salafisme. Sesungguhnya, istilah Wahhabisme dipandang sebagai sebutan yang menghina di antara para pengikut Abd al-Wahhab, karena kaum Wahhabi lebih melihat diri mereka sebagai wakil ortodoksi Islam. Menurut para pengikutnya, Wahhabisme bukan suatu mazhab pemikiran di dalam Islam, melainkan Islam itu sendiri, dan satu-satunya Islam yang mungkin. Fakta bahwa Wahhabisme menolak digunakannya istilah mazhab memberinya suatu sifat yang agak tidak jelas dan membuat banyak doktrin dan metodologinya bisa dengan mudah ditransfer. Salafisme, berbeda dengan Wahhabisme, adalah paradigma yang lebih kredibel di dalam Islam, dan dalam banyak hal, dapat menjadi sarana yang ideal bagi Wahhabisme. Karena itu, dalam literatur mereka, tokoh-tokoh Wahhabi secara konsisten melukiskan diri mereka sebagai kaum Salafi (pengikut Salafisme), dan bukan Wahhabi.
.
Wallahu a’lam.
Kebangkitan Kaum Puritan (2)– Perpaduan Salafi-Wahabi
Ditulis oleh orgawam di/pada Desember 4, 2009
Masih diambil dari buku “The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist“, karya Khaled M. Abou El Fadl, seorang professor hukum islam di UCLA, AS. Dari Terjemahannya yang berjudul “Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terbitan Serambi. Diambil dari Bab 3, merupakan kelanjutan dari tulisan sebelum ini, Kebangkitan-Kaum-Puritan,-Sejarah-Kaum-Wahabi. Sedikit saya edit dengan menambahkan sub judul dari alenia-alenia yang panjang, serta catatan kaki saya sertakan langsung di dalam tulisan agar lebih jelas diikuti.
.
ASAL USUL KAUM SALAFI
Salafisme adalah suatu keyakinan yang didirikan pada akhir abad ke-19 oleh para reformis muslim seperti Muhammad Abduh (w. 1323 H./1905 M.), Jamal al-Din al-Afghani (w. 1314 H./1897 M.), Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H/ 1935 M.), Muhammad al-Syawkani (w. 1250 H./1834 M.) dan Jalal al-Shan’ani (w. 1225 H./1810 M.). Sejumlah orang bahkan meniabahkan asal-usul keyakinan Salafisme ini kepada Ibn Thaymiyyah (w 728 H./1328 M.) dan muridnya yang bernama Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H/1350 M.). Istilah salaf berarti pendahulu, dan dalam konteks Islam, pendahulu itu merujuk pada periode Nabi, para Sahabat, dan tabiin. Selain itu, istilah salaf (seseorang yang mengikuti kaum salafi punya makna fleksibel dan lentur serta memiliki daya tarik natural, sebab ia melambangkan autentisitas dan keabsahan. Sebagai istilah, salaf dimanfaatkan oleh setiap gerakan yang ingin mengklaim bahwa gerakan itu berakar pada autentisitas Islam. Walaupun istilah itu pada awalnya dipakai oleh kaum reformis liberal, pada awal abad ke-20, kaum Wahhabi menyebut diri mereka kaum Salafi. Akan tetapi, hingga tahun 1970-an, istilah itu tidak terkait dengan keyakinan Wahhabi.
Salafisme menyeru untuk kembali pada konsep yang sangat dasar dan fundamental di dalam Islam-bahwa umat Islam seharusnya mengikuti preseden-preseden Nabi dan para Sahabatnya yang mendapatkan petunjuk (al-salaf al-sholih) dan juga generasi awal yang saleh. Secara metodologis dan ditinjau dari substansinya, Salafisme nyaris identik dengan Wahhabisme, kecuali bahwa Wahhabi jauh kurang toleran terhadap keragaman dan perbedaan pendapat. Dalam banyak hal, Salafisme sebenarnya tak bisa ditolah sebagian karena janji epistemologisnya: Salafisme menawarkan satu pandangan-dunia yang sulit ditolak atau ditentang. Para pendiri Salafisme menegaskan bahwa dalam menghadapi semua persoalan, umat Islam seharusnya kembali pada sumber tekstual asli yaitu Alquran dan Sunah (preseden) Nabi. Dalam melakukannya, umat Islam harus menginterpretasikan sumber-sumber asli itu berdasarkan kebutuhan dan tuntutan modern tanpa harus terikat mutlak pada produk penafsiran generasi muslim awal. Namun, seperti awalnya dipahami, Salafisme tidak serta-merta antiintelektual, tetapi sebagaimana Wahhabisme, ia cenderung tidak tertarik pada sejarah. Dengan menekankan asumsi “zaman keemasan” di dalam islarn, para pengikut salafisme mengidealisasi zaman Nabi dan Sahabatnya, dan menolak atau tidak tertarik pada warisan sejarah Islam yang lebih besar.
Lebih jauh lagi, dengan menampik preseden hukum dan merendahkan tradisi sebagai satu sumber keberwenangan, Salafisme mengadopsi satu bentuk egalitarianisme yang mendekonstruksi gagasan-gagasan tradisional tentang otoritas yang telah mapan di dalam Islam. Dalam pandangan Salafisme, setiap orang dinilai memenuhi kualifikasi untuk kembali pada sumber asli Islam dan berbicara atas nama Tuhan. Logika dan asumsi Salafisme sendiri adalah bahwa setiap orang awam itu dapat membaca Alquran dan kitab-kitab yang memuat hadis Nabi dan para Sahabat dan kemudian membuat penilaian hukum. Ekstremnya, ini berarti bahwa setiap individu muslim dapat membuat versinya sendiri mengenai hukum Islam.
Salafi (mula-nya) berbeda dengan Wahhabi
Sebenarnya, dengan membebaskan kaum muslim dari muatan tradisi para ahli hukum yang rumit dan canggih, Salafisme memberi kontribusi bagi vakumnya otoritas di dalam Islam kontemporer. Akan tetapi, tidak seperti Wahhabisme, Salafisme tidak secara aktif memusuhi tradisi hukum atau praktik beragam mazhab pemikiran yang saling bersaing. Seakan-akan Salafisme memandang tradisi hukum lebih bersifat opsional dan bukannya harus dibuang. Selain itu, berbeda dengan Wahhabisme, Salafisme tidak membenci mistisisme atau sufisme. Banyak pendukung Salafisme berkeinginan kuat untuk membuang belenggu tradisi dan terlibat dalam memikirkan solusi Islam dari sudut tuntutan modern. Sejauh menyangkut tradisi hukum, kebanyakan para ilmuwan Salafi adalah orang yang suka memadukan sejumlah pendapat; mereka cenderung terlibat dalam praktik yang dikenal dengan istilah talfiq; mereka memadukan beragam opini dari masa lalu demi memunculkan pendekatan baru terhadap problem-problem yang muncul.
Satu dimensi penting pada Salafisme adalah bahwa sebagian besar ia didirikan oleh kaum nasionalis muslim yang sangat ingin menafsirkan nilai-nilai modernisme ke dalam sumber-sumber orisinal Islam. Oleh karena itu, Salafisme tidak serta merta anti-Barat. Sebenarnya; para pendiri Salafisme berupaya keras untuk mengungkapkan keserupaan antara teks-teks mendasar Islam dan pranata-pranata kontemporer seperti demokrasi, konstitusionalisme. atau sosialisme. dan berusaha keras untuk menjustifikasi paradigma negara-bangsa modern di dalam Islam. Dalam pengertian ini, Salafisme, seperti dipahami pada awalnya, memperlihatkan satu tingkat oportunisme. Para pendukungnya cenderung lebih tertarik pada hasil akhir ketimbang memelihara integritas atau koherensi metode hukum. Salafisme ditandai dengan keinginan yang kuat untuk menggapai hasil yang akan membawa Islam selaras dengan modernitas, bukan hasrat untuk secara kritis memahami modernitas maupun tradisi Islam itu sendiri. Misalnya, orang-orang Salafi abad ke-19 dan awal abad ke-20 sangat menekankan keunggulan konsep mashlahah (kepentingan publik) dalam pembentukan hukum Islam. Karena itu, secara konsisten ditekankan bahwa apa pun yang akan memenuhi kepentingan publik seharusnya dipandang sebagai bagian dari hukum Islam.61
61. Tentang proses ini dan tentang talfiq dan mashlahah digunakan dalam Islam modern, lihat Noel Coulson, A History of Islamic Law (Skoiandia: Edinburgh University Press, 1994), h- 197- 217. Lihat juga Ridha, al-Manar, edisi 17, h.372 – 384.
Berubah menjadi kekuatan politik
Akan tetapi, ini menunjukkan sebuah masalah yang menghadang pemikiran Salafi sepanjang abad ke-20: oportunisme politiknya. Salafisme, yang awalnya menjanjikan sebentuk kebangkitan-kembali yang liberal di dunia Islam, senantiasa mengompromikan prinsip-prinsip keagamaan dan etika dengn dinamika kekuasaan dan keuntungan politik. Dihadapkan pada tantangan nasionalisme, kaum Salafi-sering mengedepankan logika kepentingan publik-secara konsisten mengubah Islam menjadi kekuatan yang secara politis reaktif, yang terlibat dalam suatu perjuangan duniawi untuk menegaskan identitas dan determinasi-dirinya. Akibatnya, Salafisme menjadi kekuatan moral yang cair dan tak berprinsip, dan terus-menerus merestrukturisasi dan mendefinisikan kembali dirinya untuk menanggapi dinamika kekuasaan yang senantiasa berubah.
Akhirnya, tak seorang pun dapat sepenuhnya yakin tentang prinsip etika dan moral yang direpresentasikan Salafisme, kecuali sebentuk fungsionalisme vulgar yang selalu bergeser ketika merespons tuntutan politik saat itu. Pada pertengahan abad ke-20, menjadi jelas bahwa Salafisme berubah menjadi pemikiran apologetis yang statis dan tak berkembang. Pemikiran apologetis merupakan suatu usaha membela Islam dan tradisinya di hadapan serangan gencar Westernisasi dan modernitas dengan secara simultan menegaskan kesesuaian dan supremasi Islam. Pandangan apologetis merespons tantangan intelektual era modern dengan mengambil fiksi mengenai asumsi kesempurnaan Islam, dengan menjauhkan diri dari evaluasi kritis atas doktrin Islam. Upaya yang lazim dilakukan kaum apologis adalah dengan menyatakan bahwa setiap institusi modern yang bernilai baik, dipuji, dan bermanfaat, pertama kali ditemukan dan diwujudkan oleh umat Islam. Oleh karena itu, menurut para apologis, Islam membebaskan kaum perempuan, menciptakan demokrasi, mendorong pluralisme, dan melindungi hak asasi manusia, jauh sebelum institusi ini ada di Barat.62
62. Untuk penilaian kritis dan bernada menyesalkan oleh seorang intelekual muslim mengenai dampak apologetis terhadap budaya muslim, lihat Tariq Ramadan, Islam, the West and the Challenges of Modernity, penerjemah: Said Amghar (Markfield, UK: Islamic Foundation, 2001), h. 286 – 290. Untuk analisis mencerahkan mengenai peran apologetis dalam Islam modern, lihat Wilfred Cantwell Smith, Islam in Modern History (Princeton: Princeton University Press, 1977).
Meskipun begitu, mereka menyatakan hal itu tanpa mencermati tradisi Islam secara mendalam, atau bahkan bukan atas dasar komitmen ideologis yang sungguh-sungguh atau pemahaman mengenai implikasi ide-ide dan institusi tersebut. Sebaliknya, isu-isu ini ditegaskan lebih sebagai sarana untuk mengafirmasi bahwa mereka memiliki hal-hal yang berharga dan untuk memperkuat rasa percaya diri mereka. Kaum apologis memang hanya mengangkat isu autentisitas Islam dalam hubunpnnya dengan isu semisal demokrasi, hak asasi manusia, dan hak-hak perempuan, namun tanpa keterlibatan yang lebih serius dengan persoalan-persoalan itu. Menurut pemikiran apologetis semacam itu, apa yang perlu dilakukan oleh semua kalangan masyarakat agar dapat sepenuhnya mengambil manfaat dari demokrasi, hak asasi manusia, pembangunan ekonomi, atau hak-hak perempuan adalah memberikan ruang ekspresi penuh pada Islam yang nyata dan sejati. Akan tetapi, apa yang terkandung dari pernyataan-pernyataan mereka ini adalah rasa percaya diri yang artifisial dan kelesuan intelektual ketika mereka tidak menyikapi tradisi Islam maupun tantangan modern secara sangat serius.63 Oportunisme pendekatan-pendekatan Salafi yang mulai muncul ini, yang sangat tampak dalam literatur apologetis mereka, telah memburuk menjadi sebentuk kecerobohan dan kebingungan intelektual yang nyaris menghancurkan setiap upaya ke arah analisis yang sistematis dan ketat. Pada 1960-an, liberalisme optimistik yang sebelumnya dapat kita lihat pada kecenderungan awal mereka telah mulai lenyap, dan apa yang masih tertinggal dari potensi liberal ini sebagian besar telah berubah menjelma sikap apologetis.
63. Untuk contoh mengenai literatur apologetis ini, lihat Muhammad Qutb, Islam: The Misunderstood Religion (Chicago: Kazi Publications, 1980). untuk diskusi yang bernilai mengenai pemikiran apologetis Islam dan dampaknya, lihat Smith, Islam in Modern History.
Masuknya Pengaruh Wahhabisme
Sementara itu, lewat proses sosial-politik yang kompleks, Wahhabisme sanggup melepaskan dirinya dari sejumlah bentuk ekstrem sikap intoleran, dan mulai menggunakan bahasa dan simbol-simbol Salafisme pada tahun 1970-an hingga keduanya secara praktis menjadi tak terbedakan. Baik Wahhabisme maupun Salafisme membayangkan adanya sebuah zaman keemasan di dalam Islam; imajinasi ini menuntut sebuah keyakinan akan adanya sebuah utopia historis yang menyerupai zaman keemasan tersebut, yang mereka pikir sepenuhnya dapat dicipta dan diproduksi kembali di dalam konteks Islam kontemporer Keduanya tetap tidak tertarik pada penyelidikan sejarah secara kritis dan menanggapi tantangan modernitas dengan melarikan diri ke rumah perlindungan teks yang aman. Keduanya mendorong sebentuk egalitarianisme dan antielitisme, hingga mereka berpandangan bahwa intelektualisme dan wawasan moral rasional sebagai sesuatu yang tak bisa dijangkau, dan karena iyu keduanya identik dengan perusakan terhadap kemurnian pesan Islam. Yang menarik, pendirian ini sebenarnya sama dengan sikap yang menempatkan segala bentuk khazanah yang secara intelektual bersifat kompleks dan menantang sebagai sesuatu yang- entah bagaimana-bertentangan dengan Islam. Sikap semacam ini terlihat begitu ganjil, jika dicermati bagaimana peradaban Islam itu sendiri telah menghasilkan satu tradisi filsafat Islam yang sangat kaya.
Abu al-A’la al-Mawdudi
Kesamaan inilah yang mempertemukan Wahhabisme dan Salafisme. Sejak periode awal wahhabisme dan setelah Salafisme masuk ke fase apologetisnya, keduanya sama-sama dirundung oleh sejenis pemikiran yang memandang diri mereka sebagai kelompok yang superior dan lebih unggul; pemikiran semacam ini terus bertahan hingga kini. Karya-karya yang lahir dari kaum Salafi generasi awal seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, misalnya, yang memperlihatkan tingkat kecanggihan intelektual mereka, menjadi jarang ditemukan. Teks-teks yang ditulis oleh kaum salafi kemudian menjadi tidak bisa dibedakan dari tulisan kaum wahhabi. Perpaduan Salafisme dan wahhabisme inilah, yang mulai terjalin pada 1970-an, yang membentuk teologi gerakan puritan saat ini.64
64. Oliver Roy, Globalized Islam: The Search for A New Ummah (New York: Columbia University press, 2004), h. 232-257. Penulis buku ini juga mencermati titik temu antara Salafisme dan Wahhabisme.
Pendekatan puritan terwakili dengan baik dalam tulisan orang seperti Abu al-A’la al-Mawdudi (w. 1979 M) dan Sayyid Quthb, yang dieksekusi pada 1966, yang pada tingkat berbeda sekaligus dapat disebut sebagai kaum Salafi dan wahhabi. Mawdudi adalah pemikir Islam berpengaruh yang menulis lebih dari dua puluh buku dan berpengaruh luas pada kaum muslim Indo-Pakistan dan juga Arab. Mengikuti Abd al- wahhab, Mawdudi percaya bahwa semua masyarakat muslim telah kembali ke kondisi pra-Islam, ketika kegelapan dan kebodohan merajalela (disebut zaman jahiliyyah). Seperti Abd al-wahhab, Mawdudi yakin bahwa umat Islam telah kehilangan iman mereka yang sejati dan banyak dari keyakinan dan tindakan mereka yang memperlihatkan tidak adanya pemahaman yang benar mengenai tawhid (monoteisme). Sebagaimana Abd al-Wahhab, Mawdudi percaya pada pemisahan kaum perempuan, dan menekankan ortoproksi atau praktik ritual yang benar sebagai bukti nyata dari keimanan mereka. Akan tetapi, Mawdudi tidak bergerak terlampau jauh hingga menyatakan bahwa semua muslim berstatus murtad, dan, atas dasar itu, menumpahkan darah mereka. Mawdudi tidak menempuh jalan kekerasan selama hidupnya, namun ia memimpin sebuah gerakan akar rumput yang besar di Pakistan yang bertujuan menghimpun dukungan masyarakat luas untuk selanjutnya menggulingkan pemerintah dan merebut kekuasaan. Pada prinsipnya Mawdudi tidak berkeberatan menggunakan kekerasan, namun ia percaya bahwa penggunaan kekerasan secara prematur akan membuat kelompok Islam tertekan dan mengalami kekalahan.
Cukup masuk akal kiranya untuk mengatakan bahwa perbedaan antara Mawdudi dan Abd al-Wahhab adalah perbedaan dalam kondisi atau lingkungan. Permusuhan antarsuku, lemahnya negara di Semenanjung Arab, dan dukungan Inggris yang ditujukan untuk memperlemah Dinasti ‘Utsmani adalah faktor-faktor yang membantu Abd al-Wahhab untuk menggunakan kekerasaan sebagai peranti utama dalam menyebarkan ajarannya. Mawdudi mengedepankan ide jihad yang ditunda-ide bahwa muslim sejati seharusnya tidak menggunakan kekerasan sepanjang konstelasi perimbangan kekuasaan yang ada tak dapat mengantarkan kaum muslim untuk meraih kemenangan; namun bila perimbangan kekuasan berubah, terpaksa kekerasaan menjadi dibenarkan. Dalam hal yang paling signifikan, Mawdudi cukup sama dengan Abd al-Wahhab-keduanya punya impian membangun masyarakat alternatif yang maju dan baru yang benar-benar islami, dan tidak sama dengan masyarakat yeng ada ketika itu. Menurut kedua aktivis ini, masyarakat alternatif yang sangat didambakan ini adalah sebuah negara utopia yang dibayangkan yang lurus merujuk pada rnodel ncgara Madinah di zarnan Nabi. Akhirnya, Mawdudi dan banyak pengikutnya, dernikian juga kaum Wahhabi, sama-sama memiliki keyakinan terhadap negara teokratis diktator yang memaksa orang bertindak sesuai dengan versi puritan tentang hukum Islam. Akan tetapi, dalam pemikiran Mawdudi kita jelas-jelas dapat menemukan jejak pengaruh pemikiran Barat, ketika ia menegaskan bahwa negara Islam adalah sebuah teo-demokrasi-kombinasi antara teokrasi dan demokrasi. Ini tak lebih dari sekadar retorika apologetis yang diarahkan untuk membela para pengikutnya di hadapan tuduhan bahwa mereka adalah aktivis yang bekerja mengusung Pakistan ke dalam bentuk negara diktator-religius.
Sayyid Quthb
Sayyid Quthb kerap disebut sebagai pendiri semua gerakan militan; namun tuduhan ini tidak sepenuhnya akurat. Quthb dijatuhi hukuman mati oleh rezim Nasser di Mesir lantaran ide-idenya, bukan karena tindakan kekerasan yang dilakukannya. Namun, karena dia dieksekusi lantaran ide-idenya, orang yang tidak sependapat dengan pemikirannya pun bahkan juga mengrngatnya sebagai martir. Tidak mengejutkan’ statusnya sebagai seorang syahid membuat sosoknya terus dikenang dalam ingatan kaum muslim hingga sekarang.
Selain itu, Quthb sebenarnya adalah sosok figur yang rumit karena dalam sebagian besar hidupnya ia adalah seorang muslim moderat dan, karena itu, ia telah meninggalkan warisan karya- karya kajian yang berpengaruh mengenai Alquran dan kritik teks. Quthb sangat terpelajar dan luas bacaannya, akrab dengan tulisan-tulisan Mawdudi dan Abd al-Wahhab dan juga tulisan beberapa filsuf Barat. Akan tetapi, ia tidak terseret ke dalam pemikiran Mawdudi atau Abd al-Wahhab sampai ia ditangkap dan disiksa habis-habisan oleh rezim Nasser. Pengalaman inilah yang terbukti sangat mengubah kecenderungan pemikiran Quthb. Quthb kemudian menjadi seorang ekstremis, dan ia menulis risalah bertajuk Ma’alim fi al-Thariq, yeng menjadi karyanya yang berpengaruh dan masyhur. Sebagai seorang ekstremis, sosok Quthb benar-benar memperlihatkan pengaruh dan kontradiksi simultan dari Islam puritan, yang tak lain adalah Salafisme, Wahhabisme, dan pemikiran Barat. Dalam Ma’alim, ia coba menawarkan satu deskripsi mengenai masyarakat Islam yang murni dan iman Islam sejati. Namun, dalam kenyataannya, buku Quthb tak lebih dari sekadar upaya penambahan lapisan islami pada konstruksi ideologis yang sangat fasis.
Quthb adalah anggota organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir dan menegaskan bahwa seperti Hasan al-Banna (terbunuh pada 1949), pendiri gerakan itu, ia adalah orang Salafi. Akan tetapi, seperti Abd al-Wahhab, Quthb membagi masyarakat ke dalam dua kategori: masyarakat yang betul-betul beriman, dan masyarakat yang hidup di zarnan jahiliyyah (kebodohan dan kegelapan, merujuk pada periode pra-Islam). Dalam penglihatannya, semua muslim wajib berhijrah ke tanah Islam sejati; mereka yang tidak melakukannya dipandang berstatus murtad dan kafir. Quthb menegaskan bahwa Alquran adalah konstitusi bagi tiap muslim sejati, dan ia juga mengklaim bahwa kedaulatan semata-mata ada di tangan Tuhan. Ini berarti bahwa di dalam masyarakat Islam tulen, Tuhanlah satu-satunya pembuat hukum, dan keadilan sempurna dapat dicapai jika penguasa sungguh-sungguh mengimplementasikan perintah Tuhan. Semua urusan dalam lingkup wilayah Islam sejati harus diatur berdasarkan hukum Islam. Tidaklah mengherankan jika Quthb maupun Mawdudi sama-sama tidak terdidik sebagai ahli hukum, dan pengetahuan mereka tentang tradisi yurisprudensi Islam sangat minim. Meskipun demikian, seperti Abd al-Wahhab, Mawdudi dan Quthb membayangkan hukum Islam sebagai suatu himpunan perintah yang gamblang, tidak fleksibel, dan kaku, yang meliputi dan mengatur setiap aspek kehidupan. Quthb membayangkan hukum Islam sebagai panasea-implementasinya berarti bahwa keadilan Tuhan diterapkan dan keadilan Tuhan itu sempurna.
Quthb menegaskan bahwa manakala wilayah Islam sejati dibangun, semua muslim harus segera berhijrah dan bermukim di sana. Akan tetapi, jika, tanah atau wilayah itu tidak ada, Quthb berpendapat bahwa mukmin sejati harus mengurung diri rnereka (i’tizal) dari masyarakat yang lain, yakni muslim yang hanya dalam namanya saja, tetapi dalam kenyataannya berlaku bidah dan melanggar ketentuan Islam yang benar. Muslim sejati harus meninggalkan dan mengisolasi mereka dari masyarakat sehingga mereka tidak akan terkontaminasi oleh kondisi jahiliyyah yang mengejala di masyarakat. Namun, sesudah meninggalkan dan membentuk komunitas mereka sendiri, umat Islam wajib mencurahkan setiap upayanya untuk mendirikan negara Islam sejati. Jelas, keinginan Quthb untuk menyatakan kaum muslim berstatus murtad mengingatkan kita pada retorika Abd al-Wahhab mengenai keyakinan yang benar dan kemurtadan. Seperti Abd al-Wahhab, Quthb mengutuk mayoritas umat Islam sebagai orang yang berstatus munafik dan pelaku bidah. Intinya, baik Abd al-Wahhab maupun Quthb meyakini gagasan komunitas yang benar-benar selamat (al-firqah al-najiyah) yang berperang melawan kaum muslim lain untuk mendirikan negara Islam sejati dan menegakkan hukum Tuhan. Akan tetapi, Quthb memberikan pandangan yang lebih detail mengenai negara Islam idealistik dan utopis. Dalam hal ini, Quthb, seperti Abd al-Wahhab, terpengaruh oleh para pemikir Barat, khususnya filsuf fasis Jerman Carl Schmidt. Walaupun Quthb tidak sekali pun menyebut Schmidt dalam karya-karyanya, pembacaan yang cermat atas Ma’alim fi al-Thariq memperlihatkan bahwa banyak ide-ide, konstruksi, dan frasa Quthb yang sangat jelas diadaptasi dari karya-karya Schmidt.65
65. Pengaruh teori fasis terhadap Quthb sudah diteliti oleh penulis lain. Lihat Roxanne L. Euben, Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and the Limits of Modern Rationalism (Princeton: Princeton University press, 1999) , h. l99, catatan nomor 181; Aziz N-Azmeh, Islam and Modernities (London: Verso press, 1996), h. 77-101. Tentang Quthb, lihat Ahmad S. Mousalli, Radical Islamic Fundamentalism: The Ideological and Political Discourse of sayyid Qutb (Lebanon: American lJniversity of Beirut, 1992).
Hasan al-Hudaybi
Sebagai pertanda yang benar tentang pergeseran nasib Islam Salafi, ketika Quthb menulis Ma’alim-nya, pimpinan Ikhwinul Muslimin, Hasan al-Hudaybi, yang menyatakan dirinya sebagai seorang Salafi, menulis sebuah buku yang menyangkal klaim-klaim Quthb. Al-Hudaybi mengkritisi pemikiran Abd al- Wahhab dan Mawdudi dan dengan keras memprotes praktik takfir (tindakan menuduh seorang muslim berstatus murtad dan pelaku bidah). Al-Hudaybi berpendapat bahwa praktik ini tidak sejalan dengan tradisi toleransi di dalam Islam. Al- Hudaybi juga menentang gagasan yang menyatakan bahwa masyarakat muslim secara keseluruhan telah surut ke belakang berada dalam cengkeraman era kegelapan dan kebodohan (Jahiliyyah). Masyarakat muslim, menurut al-Hudaybi, mungkin memang telah terlalu ter-baratkan, atau mereka mungkin telah meninggalkan nilai-nilai Islam, namun ini tidak berarti masyarakat ini tak lagi berstatus muslim. Jawaban atas semua persoalan yang dihadapi umat Islam kemudian adalah mendorong, meyakinkan, dan mengupayakan reformasi secara bertahap, dan tidak melakukan kekerasan atau memaksakan perubahan. Dalam keadaan apa pun, beranggapan bahwa semua muslim layak dibunuh atau memandang diri seseorang berada dalam kondisi perang dengan masyarakat pada umumnya, seperti telah dilakukan kaum Wahhabi, adalah sebentuk kesalahan yang fatal. Penting dicatat, al-Hudaybi berpendapat bahwa kedaulatan politik seharusnya dipegang oleh manusia, dan karena itu sistem pemerintahan teokratis tidak selaras dengan teologi, sejarah, dan moralitas Islam. Al-Hudaybi sangat kritis terhadap ide kedaulatan Tuhan, dan menyatakan bahwa ide itu terlihat asing bagi Islam dan telah dipakai untuk tujuan-tujuan yang keliru. Ia menegaskan bahwa konsep negara uropis, yang di dalamnya digambarkan bahwa Tuhan sendiri yang memegang kedaulatan, secara faktual mustahil dan secara politik naif Al- Hudaybi adalah seorang hakim dan ahli hukum, dan tentunya, dalam bukunya ia menunjukkan tingkat kompetensi dan pengetahuan tentang hukum Islam yang lebih baik. Konsekuensinya, ia tidak berpandangan bahwa penerapan hukum lslam adalah panasea bagi persoalan apapun yang mungkin dihadapi umat Islam. Hukum Islam tidak bisa diterapkan tanpa kali pertama mengembangkan aparatus institusional dan lingkungan sosial yang tepat.
Sungguh sangat penting untuk diketahui bahwa sementara kebanyakan kaum muslim minimal sudah pernah mendengar tentang buku Ma’alim fi al-Thariq, dan bahwa buku karya Quthb itu mudah didapat, hal serupa tak terjadi pada buku al-Hudaybi. Sedikit sekali orang yang pernah mendengarnya, dan buku itu lama tak dicetak ulang dan sulit dicari.66 Sedihnya lagi, buku al-Hudaybi yang bercorak liberal itu ditulis setelah fase liberal Salafisme lama berlalu. Buku itu tidak lagi merepresentasikan pemikiran Salafi; buku itu hanya menggambarkan pemikiran seorang al-Hudaybi belaka.67 Kini, orang-orang Salafi dengan amat meyakinkan menampik pemikiran al- Hudaybi sebagaimana mereka menolak pemikiran Salafi liberal yang lahir pada awal abad ke-20.
66. Buku Hasan al-Hudaybi berjudul Du’a la Quda [Nasihat Bukan Penilaian] (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1965).
67. Nasib serupa juga dialami karya tokoh liberal Salafi, Hasan Asymawi, Qalb Akhar min Agl al-Za’im [Hati Lain dari Pemimpin], yang dipublikasikan pada 1970 tetapi sebagian besar diabaikan.
Menyatu-nya antara Wahhabi dan Salafi
Pada 1970-an, perpaduan kaum Wahhabi-Salafi direpresentasikan oleh pemikiran tokoh puritan baru seperti Salih Saraya (dieksekusi pada 1975), Syukri Mushthafa (dieksekusi pada 1978), dan Muhammad Abd al-Salim Faraj (dieksekusi pada 1982). Ketiganya membentuk organisasi militan dan dieksekusi karena melakukan tindakan teroris di Mesir. Dari ketiganya, Faraj-lah yang terutama berpengaruh lantaran risalah terkenalnya yang berjudul al-Faridlah al-Ghaybah (Kewajiban yang Terabaikan).68
68. Lihat Johannes Jansen, The Neglected Duty: Thr Creed of Sadat’s Assassins and Islamic Resurgence in the Middle East (New york: Macmillan, 1986).
Di samping itu, Faraj adalah ideolog utama di balik pembunuhan Presiden Anwar Sadat pada 1981. Risalah Faraj menyerukan digelarnya operasi militer terus-menerus terhadap penguasa seluruh negara muslim yang melakukan bidah. Akan tetapi, lebih jauh lagi, dalam pandangan Faraj, tak hanya penguasa yang layak dikucilkan dan diperangi karena berstatus kafir, melainkan semua muslim harus diperlakukan seakan-akan mereka itu nyaris berstatus murtad.
Faraj dan para pendahulunya, Saraya dan Syukri, telah menerima pandangan Abd al-Wahhab dan Quthb bahwa masyarakat muslim sedang tersesat dan menyimpang, dan memimpikan masyarakat alternatif untuk dapat menerapkan Islam sejati. Ketiga aktivis ini sangat terasing dari masyarakat muslim saat itu dan tak mau terikat secara moral dengan bersahabat dengan kaum muslim.69 Oleh karena itu, dalam penglihatan mereka, sebuah negara seperti Mesir dipandang sama tak Islamnya dengan Israel – dalam pandangan mereka, Mesir dan Israel sama-sama negara non-Islam.70 Walaupun tiga aktifis ini menerima pandangan-dunia Quthb, dan bahkan menerima gagasan untuk menarik diri dari masyarakat kafir, mereka menolak ide aksi militer yang ditangguhkan. Sebaliknya, mereka merasa bahwa model pemikiran Abd al-Wahhab, yang cenderung mengucilkan, menyerang, dan menghukum kaum kafir, sebagai model yang jauh lebih efektif. Itulah sebabnya, orang-orang militan seperri Faraj, terkait dengan pandangan teologis mereka, lebih dekat kepada Abd al-Wahhab ketimbang Quthb. Karena itulah, bentuk baru puritanisme ini agak ambivalen bila dibandingkan dengan Quthb. Sekalipun mereka tertarik pada pandangan dikotomis Quthb mengenai masyarakat muslim dan dunia, mereka merasa bahwa keengganan Quthb unruk menggunakan kekuatan militer sebagai sesuatu yang sangat mengganggu, dan dengan begitu kaum puritan baru ini acap kali menyerang dan mengutuk Quthb, sembari memuji dan mengidealkan Abd al-Wahhab.71
69. Emmanuel Sivan, Radical Islam: Medieval Theology and Modern Politics (New Haven: Yale University press, 1985), h. 2l-22.
70. Gilles Kepel, Muslim Extremism in Egypt: The Prophet and Pharaoh, penerjemah: John Rodrschild (Los Angeles: University of California Press, l984), h. 203-204.
71. Oliver Roy, Clobalized Islam: The Search for A New Ummah (New York Columbia University Press, 2004). h. 250, mencermati fakta bahwa kaum militan muslim mengkritisi dan menyalahkan Quthb.
Dengan cara serupa, sementara para ulama tradisional biasa menggambarkan kaum Wahhabi sebagai Khawarij Islam di era modern, sebutan yang sama juga digunakan untuk melukiskan orang-orang puritan baru ini. Orang-orang ini, seperti Wahhabi, benar-benar jijik terhadap para ahli hukum Islam. Demikianlah, misalnya, kelompok Syukri Mushthafa pada 1977 menculik dan mengeksekusi mati Muhammad al-Dzahabi, syekh terhormat dari Azhar yang tak lain adalah mantan Menteri wakaf. Dalam banyak detailnya, pemikiran Syukri Mushthafa nyaris identik dengan pemikiran Abd al-Wahhab.72
72. Ia menolak empat mazhab hukum, dan juga menolak keragaman pendapat di dalam tradisi hukum Islam’ Syukri Mushthafa melihat bahwa dalam sebagian besar sejarah Islam terjadi penyimpangan dan, karena itu, ia menegaskan bahwa perlu kembali ke sumber orisinal Islam (Alquran dan Sunah), dan menafsirkan kembali maknanya.
Tetapi, sebagaimana terjadi pada Abd al-Wahhab, ia meneguhkan hak individualnya untuk membaca Alquran dan Sunah secara literal dan menciptakan makna pasti dari tek-teks tersebut. Dengan cara yang mirip dengan pendekatan Abd al-Wahhab, sejauh menyangkut Syukri Mushthafa, pembacaan den pemahaman kelompoknya terhadap teks tersebut sangat menentukan, dan siapa pun yang berbeda pendapat dengan pemahaman mereka kemudian akan disebut pelaku bidah dan murtad.
Menurut Syukri dan Faraj, kelompok yang selamat – kelompok kaum beriman – harus menggalakkan perang tiada henti terhadap semua sisa-sisa kultur jahiliyyah di mana pun ia ditemukan [Gilles Keppel, Jihad: The Trial of Political Islam (Cambridge: Harvard University Press, 2002), h. 85; David Sagiv, Fundamentalism and Intellectuals in Egypt 1973- 1993 (London: Frank Cass, 1995), h. 47-49; Johannes J.G. Jansen, The Dual Nature of Islamic Fundamentalism (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1997), h. 76-30].
Nyaris identik dengan teologi Wahhabi, baik Syukri maupun Faraj percaya bahwa semua muslim, selain pengikut mereka sendiri, adalah musyrikin (politeis) dan tidak hanya dibolehkan, tetapi justru wajib melancarkan perang terhadap mereka, bahwa kaum laki-laki harus dibunuh, bahwa kaum perempuan dan anak-anak harus dibunuh atau diperbudak, dan bahwa harta mereka tidak punya nilai kesucian. Akan tetapi, konteks historis tidak berpihak pada rencana penaklukan militer oleh orang seperti Syukri dan Faraj. Mereka tidak bisa meniru menggunakan aksi-aksi kekerasan seperti ‘Abd al- Wahhab karena, sebagaimana orang- orang sejenisnya di banyak negara muslim, mereka berhadapan dengan negara-negara kuat yang menekan mereka.
Pada akhir 1970-an, Wahhabisme mulai bergabung menganut keyakinan model Salafisme, sehingga sampai menjadikan Salafisme sebagai kata khusus untuk mengungkapkan nilai-nilai anti-liberal. Puritanisme yang lahir dari proses ini kemudian senantiasa intoleran, merasa lebih unggul atau superior, menindas kaum perempuan, menentang rasionalisme, membenci bentuk-bentuk kreatif ekspresi artistik, dan sangat literalis. Akan tetapi, sementara semua kelompok militan Islam adalah puritan, Salafi, dan Wahhabi, tidak semua kelompok’puritan adalah militan. Beberapa kelompok puritan menerima pendekatan Mawdudi atau Quthb dan mengikuti wahhabisme, tetapi bercita-cita mendirikan masyarakat Islam sejati lewat aktivisme dan upaya bujukan yang relatif tidak kasar, dan bukannya lewat kekerasan.
Mengapa minim reaksi dunia islam
Mayoritas pemerintah muslim menoleransi gerakan puritan sepanjang mereka tidak melakukan kekerasan. Akan tetapi, di sangat sedikit negara, terdapat sebentuk respons ideologis yang efektif terhadap gerakan-gerakan puritan ini. Salah satu penyebab utama dari kegagalan yang meluas ini adalah keengganan para sarjana dan intelektual muslim untuk menunjukkan bahwa wahhabi adalah pangkal dari gerakan puritan ini. Khususnya pada 1980-an dan 1990-an, selain kalangan sufi dan syiah, sangat sedikit sarjana yang berani mengkritisi pengaruh wahhabi pada paham Salafi.73
73. Di antara sedikit buku semacam ini yang ditulis oleh kalangan Suni adalah karya Ahmad Mahmud Subhi, Hal Yu’ad al-Madzhab al-Wahhabi Salafyyan (Alexandria: Dar al-Wafa’, 2004). Dalam buku ini dia menyatakan bahwa Wahhabi pada dasarnya tidak selaras dengan ajaran Salafi.
Kritik yang diarahkan pada Arab Saudi atau wahhabisme dipandang berisiko dan bahkan berbahaya. Setidaknya, melalui kendali mereka atas dua tempat suci, Mekah dan Madinah, pemerintah Saudi memiliki kekuasaan yang sangat kuat-yakni kekuasaan untuk memberikan visa atau tidak kepada setiap muslim di dunia. Kekuasaan untuk mengatur akses ke Mekah dan Madinah ini pada akhirnya berarti bahwa pemerintah Saudi bisa memutuskan apakah seorang muslim akan dapat melaksanakan ibadah ke tempat suci itu atau tidak. Fakta ini saja memungkinkan pemerintah Saudi untuk memiliki peran yang berdampak sangat serius atas kehidupan umat Islam di dunia. Setiap sarjana muslim yang berani mengkritisi Wahhabisme, umpamanya, tak akan mendapatkan visa untuk mengunjungi tempat suci itu, dan bagi banyak kaum muslim yang saleh ini akan menjadi tamparan emosional yang sangat serius.74
74. Tentang kendali Saudi atas ibadah haji dan dampaknya, lihat David Long, The Kingdom of Saudi Arabia (Tampa, FL: University Press of Florida, 1997), h. 93-106.
Arab Saudi mengeksport paham Wahhabi
Selain itu, dimulai pada ah,hir 1970-an dan awal 1980-an, Arab Saudi telah memulai satu kampanye sistematis untuk menyebarkan pemikiran Wahhabi di kalangan umat Islam yang berada di negara-negara muslim maupun nonmuslim.75 Lebih penting lagi, Arab Saudi telah menciptakan sejumlah sistem bantuan finansial berskala dunia dengan memberi bantuan yang melimpah bagi mereka yang menyokong “tipe pemikiran yang benar” atau mereka yang benar-benar menahan diri untuk tidak mengkritisi paham Wahhabi. Sistem bantuan finansial ini juga dipakai untuk mengontrol apa yang dicetak oleh para penerbit atau siapa yang diundang untuk mengikuti perkumpulan atau konferensi prestisius. Kesenjangan kekayaan antara kebanyakan negara muslim dan Arab Saudi, dan pengaruh hegemonik atas uang minyak di negara-negara muslim, membuat kebanyakan sarjana Islam mustahil untuk mencoba mengkritisi paham Wahhabi.
75. Untuk deskripsi tentang upaya yang dilakukan pemerintah Saudi untuk menyebarkan paham V/ahhabi ke seluruh dunia, lihat Stephen Schwartz, The Two Faces of Islam: The House of Sa’ud from Tradition to Terror (New York Doubleday, 2002), h. 181- 225; Dore Gold, Hatred’s Kingdom (Washington, DC: Regnery Publishing Inc., 2003); Algar, Wahhabism, h. 49-66. Tentang penyebaran pemikiran ‘Wahhabi di Amerika Serikat, lihat Freedom House Report, Saudi Publications on Hate Ideology Fill American Mosques (Washington, DC: Center for Religious Freedom, 2005).
Sebagai contoh konkret, misalnya, seorang sarjana muslim yang selama enam bulan menjalankan tugas belajar di universitas di Arab Saudi akan memperoleh uang yang lebih banyak selama masa belajar ini ketimbang sepuluh tahun mengajar di Universitas al-Azhar Mesir. Dengan cara yang sama, para penulis atau imam yang mendukung sikap pro-Wahhabi akan memenuhi syarat untuk mendapatkan kontrak, kucuran dana, dan hadiah yang menguntungkan. Acap kali pemerintah Arab saudi membeli buku-buku yang ditulis para penulis pro-Wahhabi dalam jumlah yang besar untuk menjamin para penulis ini agar mendapatkan keuntungan yang sangat tinggi dan menciptakan sistem insentif bagi para penerbit untuk menerbitkan buku-buku jenis tertentu. Perkembangan yang paling menggelisahkan pada dekade 1980-an dm 1990-an adalah adanya sejumlah sarjana muslim yang dikenal karena liberalisme dan rasionalisme mereka ternyata juga menulis buku-buku yang membela Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan paham wahhabi-mereka memotret wahhabisme sebagai suatu gerakan yang paling sanggup menghadapi tantangan modernitas. Apa pun yang ada di benak orang tentang motif para penulis ini, yang jelas mereka mendapatkan banyak imbalan atas kontribusi mereka ini, walaupun buku-buku mereka sangat diwarnai dengan sikap memilih-milih dan banyak menampilkan fakta yang secara historis tidak akurat.76
76. Untuk contoh buku-buku semacam itu, lihat Muhammad Fathi Osman, al-Salafiyyah fi al-Mujtama’at al-Mu’ashirah [Salafi di Masyarakat Modern] (Kuwait: DAr al-Qalam, 1981). Penulisnya menyamakan orang Wahhabi dan Salafi, dan juga memuji-muji Abd al-WahhAb dan gerakannya; lihat khususnya h. 31- 87. Menariknya, sang penulis adalah seorang profesor di Arab Saudi ketika sedang menulis buku itu. Pembelaan lain yang tak tahu malu terhadap gerakan Wahhabi oleh sarjana liberal adalah Muhammad Jalal Kisyk, al-Sa’udiyyun wa al-Hall al-Islami [Bangsa Saudi dan Solusi Islam] (West Hanover, MA: Halliday, 1981). Akan tetapi, buku ini sedikit lebih berimbang ketimbang karya Osman. Menariknya, Kisyk adalah penerima penghargaan Raja Faisal yang sangat berpengaruh. Sebuah buku berbahasa Arab yang diterbitkan di London secara kritis menganalisis dan mengilustrasikan banyak fakta yang tak menyenangkan tentang paham Wahhabi yang diabaikan dalam buku Kisyk. Lihat Khalifa Fahd, Jahim al-Hukm al-Sa’udi wa Niram al-Wahhabiyyah (London: al-Safa Publishing, 1991). Sebagaimana ditunjukkan oleh penulis buku ini, banyak penulis muslim dan nonmuslim dari negara muslim dan nonmuslim sangat mendapatkan imbalan lantaran menulis teks-teks yang pro-Wahhabi.
Muhammad al Ghazali
Pada 1989, ulama Salafi yang berpengaruh dan produktif, Muhammad al Ghazali (w.1996) melakukan sesuatu yang tak terpikirkan. Ia menulis serangkaian kritik tajam terhadap pengaruh wahhabi atas keyakinan Salafi. Al-Ghazali merasa semakin kesal atas antirasionalisme dan ketakbermoralan mereka yang mengaku sebapi kaum Salafi, dan kaum puritan pada umumnya. Meskipun sadar akan pengaruh Vahhabi pada Islam kontemporer, al-Ghazali tidak berani mengkritik wahhabi secara eksplisit atau langsung. Sebaliknya, ia menyebut mereka sebagai Ahl al-Hadits era modern, dan ia benar-benar mengkritisi apa yang ia sebut sebagai literalisme, antirasionalisme, dan pendekatan mereka atas teks-teks Islam yang anti-interpretasi.
Ahl al-Hadits adalah ungkapan halus yang merujuk pada gerakan literalis dalam sejarah Islam yang mengklaim sunguh-sungguh mengikuti tradisi Nabi, dan juga menggunakan interpretasi dan nalar tanpa pengaruh “yang merusak”. Ahl al- Hadits menyibukkan diri mereka dengan menghimpun, mendokumentasi, dan meriwayatkan hadis-hadis yang dinisbahkan pada Nabi dan para Sahabat, dan mengklaim bahwa mereka menyandarkan penilaian hukum mereka pada hadis-hadis ini tanpa tercampuri oleh subjektivitas manusia. Pada abad ke-4 H./ke-10 M., terdapat keserupaan yang kuat antara pengikut Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H/855 M.), pendiri mazhab Hanbali, dan Ahl al-Hadits-walaupun Ahl al-Hadits menyatakan tidak mengikuti mazhab mapan mana pun dan hanya menjadi pengikut kebenaran. Keserupaan ini sangat dekat sekali sehingga pada satu periode waktu tertentu istilah Ahl al-Hadits merujuk pada para sarjana Hanbali yang literalis dan suka menerjemahkan hukum secara kaku. Yang terpenting, dalam tradisi yurisprudensi, Ahl al- Hadits merepreseetasikan pikiran tertutup, konservatisme, dan kebodohan.77
77. Tentang Ahl al-Hadits, lihat Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (Oxford: One- world Publications, 2001), h. 114; Khaled Abou El Fadl, And God Knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourses (Lanham, MD: University Press of America, 2001), h. 48,78.
Bagi al-Ghazali, pada zaman dan eranya, pendekatan kaum Salafi terhadap teks-teks Islam betul-betul mengingatkannya pada literalisme Ahl al-Hadits pada periode pramodern, yang suka membicarakan hal-hal detail menyangkut aturan tertentu dan menentang setiap orientasi rasionalis di dalam Islam.78 Dengan menggunakan istilah Ahl al-Hadits untuk mendeskripsikan kaum Wahhabi, al-Ghazali juga sedang menyentil kontroversi historis lama antara apa yang disebut sebagai kalangan “ahli farmasi” dan kalangan “dokter” Islam. Menurut sejumlah sarjana klasik, mereka yang menghimpun dan meneruskan hadis, Ahl al Hadits, ibarat ahli obat yang membuat dan memelihara bahan kimia, tetapi tidak tahu bagaimana cara mendiagnosis suatu penyakit atau menentukan obat yang tepat. Sementara itu, para ahli hukum lebih mirip dengan dokter, yang menggunakan bahan yang disuplai oleh ahli farmasi tetapi juga memanfaatkan pengetahuan dan penguasaan yang lebih baik untuk memberi pengobatan atas suatu penyakit tertentu.79
78. Muhammad al-Ghazali, al-Sunah al-Nabawiyyah Bayn Ahl al- Fiqh wa Ahl al-Hadits (Kairo: Dar al-Syuruq, 1989).
79. Ibn Abmad al-Makki, Manaqib Abu Hanifah (Beirut: Dar al- Kitab al-’Arabi, 1981), h. 350.
Demikian pula, al-Ghazali yah,tn bahwa Ahl al-Hadits era modern, yang juga ia sebut kaum tradisionis, tahu bagaimana menghirnpun dan menghafal hadis, tetapi tak tahu bagaimana mengolah bahan-bahan sumber itu dengan metodologi hukum demi menghasilkan yurisprudensi. Para tradisionis (yakni, ahli farmasi) tidak mengerti bagaimana mengaplikasikan metode-metode hukum pada bahan-bahan mentah itu, bagaimana menyeimbangkan antara bukti yang saling bersaing dan bertentangan, bagaimana menimbang tujuan-tujuan hukum di hadapan alat atau sarana, bagaimana menilai kepentingan pribadi di hadapan kepentingan publik, bagaimana menganalisis ketegangan antara aturan-aturan tertentu dan prinsip hukum tertentu, bagaimana menyeimbangkan antara penghargaan atas preseden dan tuntutan akan perubahan, bagaimana memahami alasan-alasan di balik perbedaan pendapat, dan bagaimana mengkaji banyak kepelikan yang menyertai proses penetapan suatu putusan hukum.
Al-Ghazali berpendapat bahwa kalangan tradisionis tidak terdidik dalam bidang teori hukum atau seluk-beluk metodologi hukum, dan oleh karena itu tidak memenuhi syarat untuk mengeluarkan putusan hukum. Kenyataannya, menurut al-Ghazali, ketika para tradisionis ini melangkahi yurisprudensi dan berupaya mempraktikkan hukum, mereka pada akhirnya bertindak sebagai pelempar hadis-yakni, melemparkan hadis-hadis kepada lawan-lawan mereka untuk mengalahkannya. Akhirnya, al-Ghazali menuduh kaum wahhabi sebagai tak lebih dari pelempar hadis-hadis Nabi. Para pelempar hadis, karena kebodohan mereka akan teori dan metodologi yurisprudensi, memperlakukan hukum dengan gaya oportunistik dan tak keruan. Mereka melacak ribuan pernyataan dan ucapan yang dinisbahkan pada Nabi demi menemukan apa pun yang bisa mereka gunakan untuk mendukung sikap yang sudah terbentuk dan ditentukan sebelumnya. Dalam kenyataannya, mereka memanfaatkan hadis-hadis yang diriwayatkan mengenai Nabi dengan cara semena-mena dan semaunya guna mengafirmasi pandangan apa pun yang ingin mereka dukung.80
80. Tentang pengutipan hadis secara selektif oleh orang-orang Wahhabi untuk mendukung pandangan idiosinkratis, lihat al- Sayyid Muhammad al-Kutsayri, al-Salafiyyah bayn Ahl al-Sunah wa al-’Imamiyyah (Beirut: al-Ghadir li al-Thiba’ah, 1997), h. 477-479.
Akibatnya, sikap kalangan tradisionis (atau pelempar hadis) ini sering berujung pada merancukan kebiasaan serta preferensi kultural mereka dengan hukum Islam. Mereka suka memilih-milih dalam memungut berbagai bukti yang mendukung bias budaya mereka dan kemudian mengklaim bahwa praktik budaya itu adalah bentuk hukum Islam yang diperintahkan. Al-Ghazali menegaskan bahwa lantaran orang-orang ini tidak bertindak sesuai dengan metodologi yang ketat atau pendekatan yang berpegang pada prinsip tertentu dalam memikirkan kehendak Tuhan, mereka ujung-ujungnya merusak hukum Islam.
Al-Ghazali tidak hanya menuduh Ahl al-Hadits atau kaum tradisionis – akhirnya, kaum Wahhabi – sebagai kelompok yang merusak hukum Islam. Ia mengecam Ahl al-Hadits modern, atau kaum ‘Wahhabi, karena mereka menghidupkan fanatisme yang mencemarkan citra Islam di dunia. Ia mengatakan bahwa Ahl al-Hadits zaman modern didera sikap isolasionis dan arogan sehingga membuat mereka tidak peduli pada apa yang dipikirkan oleh umat manusia yang lain tentang Islam atau umat Islam. Dalam pencermatan al-Ghazali, sikap arogan dan intoleran ini melecehkan dan memiskinkan pemikiran Islam, serta menampik universalisme dan humanisme Islam. Dengan agak mengesankan, al-Ghazali menyatakan bahwa Ahl al-Hadits zaman modern, atau kaum Wahhabi, memerangkap Islam di dalam lingkungan yang gersang dan keras, dan di situ ciri-ciri peradaban humanis jelas-jelas tidak terlihat. Akhirnya, tegas al-Ghazali, Salafi kontemporer di bawah pengaruh kaum Wahhabi telah menciptakan sebuah Islam Badui, dan Islam Badui ini telah tersebar dan berpengaruh.
Al-Ghazali sangat membela tradisi hukum di dalam Islam, dan mengutuk perlakuan ambivalen serta penolakan yang dilakukan Islam Badui atas tradisi ini. Mengingat kerancuan yang telah mengepung makna kata Salafisme, al-Ghazali enggan terlibat dalam perdebatan tentang siapa kaurn Salafi yang sejati dan sesungguhnya. Namun ia betul-betul mendorong untuk kembali kepada metodologi para sarjana, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, yang merupakan para pionir gerakan Salafi. Dengan kata lain, al-Ghazili mencoba mengembalikan pemikiran Salafi pada asal-usulnya yang liberal dan tecerahkan sebagai satu gerakan perubahan yang sejati. Secara implisit, ia sekali lagi mencoba membedakan dan menceraikan Salafisme dari Wahhabisme, dengan menyatakan bahwa yang terakhir telah mengotori yang pertama.
Sejumlah besar sarjana muslim bukannya telah melakukan upaya semacam itu semenjak dekade 1930-an. Al-Ghazali terlibat dalam penilaian kritis introspekif terhadap kondisi pemikiran kaum muslim, dan berkesimpulan bahwa sumber kegagalan umat Islam berada pada diri mereka sendiri. Al- Ghazali menandaskan bahwa kegagalan untuk mendemokratisasi, menghargai hak asasi, memodernisasi, dan membela reputasi Islam di dunia bukanlah produk dari konspirasi dunia yang membenci Islam. Menurut al-Ghazali, jika umat Islam menyalahkan orang lain atas kegagalan yang mereka alami, ini bertentangan dengan etika Islam; umat Islam harus melihat ke dalam diri mereka sendiri.
Yang menyedihkan, problem-problem yang coba al-Ghazali jawab ternyata jauh lebih mewabah dan telah menjadi lebih rumit daripada yang ia sadari. Untuk jangka waktu yang terlalu lama, tokoh-tokoh muslim berpengaruh tetap diam terhadap praktik kaum Wahhabi yang suka membantai orang. Bahkan, wilayah yang telah dipengaruhi Saudi jauh lebih luas ketimbang yang disadari al-Ghazali. Misalnya, Rasyid Ridha, yang dipuji oleh al-Ghazali, barangkali memang termasuk salah satu dari ulama terliberal dan kreatif dari awal abad ke-20; tetapi ia juga seorang pembela Wahhabi. Ridha menulis banyak artikel yang memotret Abd al-Wahhab sebagai sosok reformis besar dan sebagai pioner gerakan Salafi. Namun, ide-ide dan tulisan- tulisan liberal Ridha secara mendasar tidak sejalan dengan Wahhabisme, sehingga sesudah kematian Ridha, kaum Wahhabi pelan-pelan menyalahkan dan memfitnah Ridha.81 Sebagai bukti demonstratif atas pengaruh Wahhabi di negara-negara muslim, Saudi mencekal tulisan-tulisan Ridha, berhasil mencegah upaya cetak ulang karya-karyanya — bahkan di Mesir– dan membuat buku-bukunya sangat sulit dicari.82
81. Muhammad ibn Abd Allah al-Salman, Rasyid Ridha wa Da’wat al-Syaykh Muhammad ibn Abd al-Wahhab (Kuwait: Maktabat al- Ma’alla, 1988).
82. Misalnya, fatwa-fatwa Rasyid Ridha dihimpun dan dipublikasikan dalam enam jilid pada 1970 oleh sebuah penerbit yang dikenal dengan nama Dar al-Jil. Arab Saudi membayar Dar al-Jil sehingga penerbit itu tetap memiliki hak cipta buku tersebut tetapi tidak mendistribusikan atau menjual buku tersebut. Saya menemukan satu kopi dari enam jilid buku tersebut dijual di Mesir. Harga jualnya di pasaran senilai empat ribu dolar-harga yang terbilang lebih mahal dari biasanya di Mesir.
Pemikir liberal lain yang tulisan-tulisannya lenyap akibat tekanan terus-menerus dari pemerintah Saudi adalah ahli hukum Yaman bernama Muhammad al-Amir al-Husaini al- Shan’ani (w. 1182 H./1768 M.). Al-Shan’ani meninggal kira-kira satu setengah abad sebelum Rasyid Ridha. Namun, sebagaimana Ridha, ia adalah salah satu bapak pendiri keyakinan liberal kaum Salafi. Seperti Ridha, al-Shan’ani memuji Abd al-Wahhab sebagai reformis Salafi dan bahkan menulis sebuah puisi untuk menghormatinya. Akan tetapi, berbeda dengan Ridha, ketika al-Shan’ani mendengar kekejaman yang dilakukan kekuatan tentara Abd al-Wahhab di mana-mana. ia menolak untuk berperan sebagai pembela jenis Islam yang tak manusiawi dan mengutuk Abd al-Wahhab lewat sebuah karya puisi baru yang sangat kuat.83
83. Puisi pertama yang memuji Abd al-Wahhab dan puisi kedua yang mengecamnya dicetak di dalam buku al Imam Muhammad ibn Isma’il al-Amir al-Husyan al-Shan’ani, Diwan al-Amir al- Shan’ani (Beirut: Dar al-Tanwir, 1986), h. 166, 173.
Barangkali jika lebih banyak para penulis Salafi yang menempuh jalan seperti al-Shan’ani, dan bukannya seperti Ridha, paham Salafi dapar terap bertahan pada orientasi liberalnya, dan boleh jadi tak akan sebegitu mudah dikooptasi oleh keyakinan Wahhabi. Mungkin jika paham Salafi tetap liberal, ia dapat digunakan untuk menghadang persebaran Wahhabisme. Akan tetapi, dengan persediaan dana Arab Saudi yang melimpah untuk mendukung ajaran-ajaran Wahhabi, tak mungkin ada kekuatan yang dapat secara efektif menghalangi arus persebaran pengaruh Wahhabi.
Karena pengaruh Arab Saudi yang begitu luas, tak mengherankan bila reaksi terhadap buku al-Ghazali sangat gila dan eksplosif; banyak orang puritan yang menulis buku untuk mengecam al-Ghazali dan mempertanyakan motif dan kompetensinya. Beberapa konferensi besar digelar di Mesir dan Arab Saudi untuk mengkritisi buku itu. Pada tahun 1989, surat kabar Saudi, al-Syarq al-Awsath, memuat beberapa artikel panjang merespons al-Ghazali. Penting untuk dicatat, kita dapat melihat pengaruh pemerintahan Saudi yang begitu luas dari fakta bahwa kebanyakan buku yang ditulis untuk menentang al-Ghazali itu ternyata diterbitkan di Mesir, dan bukan di Arab Saudi sendiri.84 Banyak kritikus al-Ghazali yang melontarkan klaim tidak masuk akal bahwa al-Ghazali tidak terdidik di bidang hukum Islam, sementara yang lain menuduhnya terpesona oleh Barat, atau bahwa ia telah benar-benar mengkhianati pemerintah. Sulit menilai apakah respons penuh benci terhadap buku itu merupakan sebentuk kecemasan yang dirasakan oleh kaum puritan akan hilangnya cengkeraman mereka atas umat Islam karena kekuatan argumen yang dipaparkan al-Ghazili. Bagaimanapun juga, respons terhadap buku al- Ghazali sesungguhnya sangat mengintimidasi setiap sarjana muslim lain yang berani menggunakan pendekatan kritis-diri seperti itu. Sungguh lebih aman untuk tetap melekatkan diri pada pemikiran apologetis atau tujuan politik populer dan tidak mengungkit-ungkit persoalan Wahhabisme.85
84. Berikut ini adalah daftar sebagian buku yang menyerang al- Ghazali: Muhammad Jalal Kisyk, al-Syaykh al-Ghazali bayn al- Naqd al-Atib wa al-Madh al-Syamit (Kairo: Maktabat al-Turats IslAmi, 1990); Asyraf bin Ibn al-Maqshud ibn Abd al-Rahim, Jinayat al-Syaykh al-Ghazali ‘ala al-Hadits wa Ahlihi (al-Isma’iliyyah, Mesir: Maktabat al-Bukhari, 1989); Jamal Sulthan, Azmat al-Hiwar al-Dini: Naqd Kitab al-Sunah al-Nabawiyyah bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits (Kairo: Dar al-Shafa, 1990); Salman bin Fahd ‘Uwdah, Fi Hiwar Hadi’ ma’a Muhammad al-Ghazali (Riyadh: t.p., l9B9); Rabi’ bin Hadi Madkhali, Kasyf Mawqif al-Ghazali min al-Sunah wa Ahlihi wa Naqd Ba’dh Araihi (Kairo: Maktabat al-Sunah, 1410); Muhammad Salamah Jabr, al-Radd al-Qawim ‘al6 man Janab al-flaqq al-Mubtn (Kuwait: Maktabat al-Sahwa al-Ismailiyya,1992), khususnya h. 100-108. Lihat juga Abu ‘Ubaydah, Kutub Hadzdzar minha al-’Ulama’, jilid pertama, h. 274-228, 327-429.
85. Misalnya, pada waku hangat-hangatnya kontroversi itu, bahkan ulama Mesir yang sangat berpengaruh, Yusuf al-Qaradhiwi, yang merupakan kolega dan teman al-Ghazali, tetap tutup mulut. Tetapi beberapa tahun sesudah al-Ghazili wafat, ia menulis dua buku: satu tentang sejarah hidup al-Ghazali dan satunya lagi tentang kontroversi itu. Dalam kedua buku itu, ia membela kesalehan dan pengetahuan al-Ghazali, tetapi ia tidak melanjutkannya dengan mengkritisi kaum Wahhabi; lihat Yusuf al-Qaradhawi, al-Imam al-Ghazali bayn Madihih wa Naqidih (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1994); Yusuf al-Qaradhawi, al- Syaykh al-Ghazali kama Araftuh: Rihlat Nklf Qarn (Kairo: Dar al-Syuruq, 1994).
Muhammad al-Ghazali wafat tak lama setelah menderita lewat kontroversi yang mengelilingi bukunya. Saya mengenal al-Ghazali, dan saya tahu bahwa ia berpikir keras untuk menyelamatkan masa depan Islam dan nasib ideologi Salafi. Akan tetapi, buku al-Ghazali telah menyimbolkan suatu teriakan bernada protes terhadap perubahan ideologi Salafi – sebuah perubahan yang pada ujungnya meruntuhkan banyak usaha kaum reformis liberal yang menulis pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Pada lima puluh tahun terakhir, ideologi Salafi telah surut dari suatu gugus kekuatan potensial modernisasi menjadi gugus wacana apologetis. Namun, dengan bergabung bersema ideologi Wahhabi, Salafisme kemudian melahirkan gerakan puritan yangr sangat kuat; bertenaga, dan kadang kala sengat membahayakan.
.
wallahu a’lam.
Berbagai hadits tentang kemuliaan Nabi saw
Ditulis oleh orgawam di/pada November 18, 2009
Sebuah artikel yang tujuan semula adalah untuk menjawab/membantah tuduhan bahwa kitab2 Maulid itu bid’ah sesat, syirik dll.
Berisi banyak dalil yang menunjukkan kemuliaan Nabi saw dari berbagai hadits (dan al Qur’an) yang menjadi dasar terciptanya syair-syair kitab Maulid Nabi saw. Saya edit seperlunya agar lebih enak dibaca.
Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka Abbas ra memuji dg syair yg panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417)
Berkata Aisyah ra : “Jangan kalian caci Hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw” (Shahih Bukhari Bab Adab hadits no.5684).
Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yg lalu ditegur oleh Umar ra, lalu Hassan berkata: “aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yg lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata : “bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dg doa : wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah ra berkata : “betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)
Kita lihat riwayat perbuatan pengagungan para sahabat terhadap Nabi saw dibawah ini,
Para sahabat hampir berkelahi saat berdesakan berebutan air bekas wudhunya Rasulullah saw (Shahih Bukhari Hadits no.186),
Setelah Rasul saw wafat maka Asma binti Abubakar shiddiq ra menjadikan baju beliau saw sebagai pengobatan, bila ada yg sakit maka ia mencelupkan baju Rasul saw itu di air lalu air itu diminumkan pada yg sakit (shahih Muslim hadits no.2069).
seorang sahabat meminta Rasul saw shalat dirumahnya agar kemudian ia akan menjadikan bekas tempat shalat beliau saw itu mushollah dirumahnya, maka Rasul saw datang kerumah orang itu dan bertanya : “dimana tempat yg kau inginkan aku shalat?”. Demikian para sahabat bertabarruk dengan bekas tempat shalatnya Rasul saw hingga dijadikan musholla (Shahih Bukhari hadits no.1130)
Allah memuji Nabi saw dan Umar bin Khattab ra yg menjadikan Maqam Ibrahim as (bukan makamnya, tetapi tempat ibrahim as berdiri dan berdoa di depan ka’bah yg dinamakan Maqam Ibrahim as) sebagai tempat shalat (musholla), sebagaimana firman Nya :
“Dan jadikanlah tempat berdoanya Ibrahim sebagai tempat shalat” (QS Al Imran 97),
Jelaslah bahwa Allah swt memuliakan tempat hamba hamba Nya berdoa, bahkan Rasul saw pun bertabarruk dengan tempat berdoanya Ibrahim as, dan Allah memuji perbuatan itu.
Diriwayatkan ketika Rasul saw baru saja mendapat hadiah selendang pakaian bagus dari seorang wanita tua, lalu datang pula orang lain yang segera memintanya selagi pakaian itu dipakai oleh Rasul saw, maka riuhlah para sahabat lainnya menegur si peminta, maka sahabat itu berkata : “aku memintanya karena mengharapkan keberkahannya ketika dipakai oleh Nabi saw dan kuinginkan untuk kafanku nanti” (Shahih Bukhari hadits no.5689)
Sayyidina Umar bin Khattab ra ketika ia telah dihadapan sakratulmaut, Yaitu sebuah serangan pedang yg merobek perutnya dengan luka yg sangat lebar, beliau tersungkur roboh dan mulai tersengal sengal beliau berkata kepada putranya (Abdullah bin Umar ra), “Pergilah pada ummulmukminin, katakan padanya aku berkirim salam hormat padanya, dan kalau diperbolehkan aku ingin dimakamkan disebelah Makam Rasul saw dan Abubakar ra”, maka ketika Ummulmukminin telah mengizinkannya maka berkatalah Umar ra : “Tidak ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat tempat di pembaringan itu” (dimakamkan disamping makam Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.1328).
Dihadapan Umar bin Khattab ra Kuburan Nabi saw mempunyai arti yg sangat Agung, hingga kuburannya pun ingin disebelah kuburan Nabi saw, bahkan ia berkata : “Tidak ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat tempat di pembaringan itu”
Demikian pula Abubakar shiddiq ra, yang saat Rasul saw wafat maka ia membuka kain penutup wajah Nabi saw lalu memeluknya dengan derai tangis seraya menciumi tubuh beliau saw dan berkata : “Demi ayahku, dan engkau dan ibuku wahai Rasulullah.., Tiada akan Allah jadikan dua kematian atasmu, maka kematian yang telah dituliskan Allah untukmu kini telah kau lewati”. (Shahih Bukhari hadits no.1184, 4187).
Salim bin Abdullah ra melakukan shalat sunnah di pinggir sebuah jalan, maka ketika ditanya ia berkata bahwa ayahku shalat sunnah ditempat ini, dan berkata ayahku bahwa Rasulullah saw shalat di tempat ini, dan dikatakan bahwa Ibn Umar ra pun melakukannya. (Shahih Bukhari hadits no.469).
Demikianlah keadaan para sahabat Rasul saw, bagi mereka tempat-tempat yang pernah disentuh oleh Tubuh Muhammad saw tetap mulia walau telah diinjak ribuan kaki, mereka mencari keberkahan dengan shalat pula ditempat itu, demikian pengagungan mereka terhadap sang Nabi saw.
Dalam riwayat lainnnya dikatakan kepada Abu Muslim, wahai Abu Muslim, kulihat engkau selalu memaksakan shalat ditempat itu?, maka Abu Muslim ra berkata : Kulihat Rasul saw shalat ditempat ini” (Shahih Bukhari hadits no.480).
Sebagaimana riwayat Sa’ib ra, : “aku diajak oleh bibiku kepada Rasul saw, seraya berkata : Wahai Rasulullah.., keponakanku sakit.., maka Rasul saw mengusap kepalaku dan mendoakan keberkahan padaku, lalu beliau berwudhu, lalu aku meminum air dari bekas wudhu beliau saw, lalu aku berdiri dibelakang beliau dan kulihat Tanda Kenabian beliau saw” (Shahih Muslim hadits no.2345).
Riwayat lain ketika dikatakan pada Ubaidah ra bahwa kami memiliki rambut Rasul saw, maka ia berkata: “Kalau aku memiliki sehelai rambut beliau saw, maka itu lebih berharga bagiku dari dunia dan segala isinya” (Shahih Bukhari hadits no.168).
Demikianlah mulianya sehelai rambut Nabi saw dimata sahabat, lebih agung dari dunia dan segala isinya.
Diriwayatkan oleh Abi Jahiifah dari ayahnya, bahwa para sahabat berebutan air bekas wudhu Rasul saw dan mengusap2kannya ke wajah dan kedua tangan mereka, dan mereka yang tak mendapatkannya maka mereka mengusap dari basahan tubuh sahabat lainnya yang sudah terkena bekas air wudhu Rasul saw lalu mengusapkan ke wajah dan tangan mereka” (Shahih Bukhari hadits no.369, demikian juga pada Shahih Bukhari hadits no.5521, dan pada Shahih Muslim hadits no.503 dengan riwayat yang banyak).
Diriwayatkan ketika Anas bin malik ra dalam detik detik sakratulmaut ia yg memang telah menyimpan sebuah botol berisi keringat Rasul saw dan beberapa helai rambut Rasul saw, maka ketika ia hampir wafat ia berwasiat agar botol itu disertakan bersamanya dalam kafan dan hanut nya (shahih Bukhari hadits no.5925)
Dan belasan riwayat lainnya dari riwayat shahih dan tsiqah bahwa para sahabat memuliakan Rasulullah saw, dengan syair, dengan perbuatan, pengorbanan, dan pengagungan.
Tampaknya kalau mereka ini hidup di zaman sekarang, tentulah para sahabat ini sudah dikatakan musyrik, tentu Abubakar sudah dikatakan musyrik karena menangisi dan memeluk tubuh Rasul saw dan berbicara pada jenazah beliau saw, demikian pula Umar ra yg saat wafat bukannya ingat syahadat malah ingat ingin dimakamkan disebelah kubur Nabi saw, demikian semua sahabat,
Seluruh Ulama dan Imam Seluruh madzhab tak satupun mengharamkan pujian pada Rasul saw, hanya wahabi saja yg menolak, memang mereka ini tak berhak berkumpul dengan para pecinta Rasul saw, karena mereka menganggap Rasul saw sama dengan manusia lainnya, padahal Allah swt telah berfirman :
“Nabi (saw) mesti lebih diutamakan dari setiap mukmin dari diri mereka sendiri, dan istri istri beliau adalah ibunda kaum mukminin” (QS Al Ahzab 6).
Berkata Anas ra : “Tak kutemukan sutra atau kain apapun yang lebih lembut dari telapak tangan Rasulullah saw, dan tak kutemukan wewangian yang lebih wangi dari keringat dan tubuh Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.3368).
“Kami tak melihat suatu pemandangan yg lebih menakjubkan bagi kami selain Wajah Nabi saw”. (Shahih Bukhari hadits no.649 dan Muslim hadits no.419)
Dari Abu Hurairah ra : “Wahai Rasulullah.., bila kami memandang wajahmu maka terangkatlah hati kami dalam puncak kekhusyu’an, bila kami berpisah maka kami teringat keduniawan, dan mencium istri kami dan bercanda dengan anak anak kami” (Musnad Ahmad Juz 2 hal.304, hadits no.8030 dan Tafsir Ibn katsir Juz 1 hal.407 dan Juz 4 hal.50).
Diriwayatkan bahwa Abu Sa’id bin Ma’la ra sedang shalat dan ia mendengar panggilan Rasul saw memanggilnya, maka Abu Sa’id meneruskan shalatnya lalu mendatangi Rasul saw dan berkata : Aku tadi sedang shalat Wahai Rasulullah.., maka Rasul saw bersabda : “Apa yang menghalangimu dari mendatangi panggilanku?, bukankah Allah telah berfirman
“WAHAI ORANG-ORANG YANG BERIMAN DATANGILAH PANGGILAN ALLAH DAN RASUL NYA BILA IA MEMANGGIL KALIAN”.(Al Anfal 24). (Shahih Bukhari hadits no.4204, 4370, 4426, 4720).
Dan bahwa mendatangi panggilan Rasul saw ketika sedang shalat tak membatalkan shalat, dan mendatangi panggilan beliau lebih mesti didahulukan dari meneruskan shalat, karena panggilan beliau adalah Panggilan Allah swt, perintah beliau saw adalah perintah Allah swt, dan ucapan beliau saw adalah wahyu Allah swt…
ketika datangnya seorang buta pada Rasul saw, seraya mengadukan kebutaannya dan minta didoakan agar sembuh, maka Rasul saw menyarankannya agar bersabar, namun orang ini tetap meminta agar Rasul saw berdoa untuk kesembuhannya, maka Rasul saw memerintahkannya untuk berwudhu, lalu shalat dua rakaat, lalu Rasul saw mengajarkan doa ini padanya, ucapkanlah : “Wahai Allah, Aku meminta kepada Mu, dan Menghadap kepada Mu, Demi Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad, Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada Tuhanku dalam hajatku ini, maka kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia memberi syafaat hajatku untukku” (Shahih Ibn Khuzaimah hadits no.1219, Mustadrak ala shahihain hadits no.1180 dan ia berkata hadits ini shahih dg syarat shahihain Imam Bukhari dan Muslim).
Hadits diatas ini jelas jelas Rasul saw mengajarkan orang buta ini agar berdoa dengan doa tersebut, Rasul saw yg mengajarkan padanya, bukan orang buta itu yg membuat buat doa ini, tapi Rasul saw yg mengajarkannya agar berdoa dengan doa itu, sebagaimana juga Rasul saw mengajarkan ummatnya bershalawat padanya, bersalam padanya.
Mengenai ucapan :
Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam). Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang musibah yang besar.
Bait ini adalah berdasarkan :
“Dan beliau saw itu adalah manusia yg terindah wajahnya, dan terindah akhlaknya” (Shahih Bukhari hadits no.3356) .
“Dan beliau saw itu adalah manusia yg termulia dan manusia yg paling dermawan, dan manusia yang paling berani” saw (Shahih Bukhari hadits no.5686).
sebagaimana hadits beliau saw : “Sungguh matahari mendekat dihari kiamat hingga keringat sampai setengah telinga, dan sementara mereka dalam keadaan itu mereka ber istighatsah kepada Adam, lalu mereka beristighatsah kepada Musa, lalu mereka beristighatsah kepada Muhammad saw” (Shahih Bukhari hadits no.1405), juga banyak terdapat hadits serupa pada Shahih Muslim hadits no.194, shahih Bukhari hadits no.3162, 3182, 4435),
dan banyak lagi hadist2 shahih yg rasul saw menunjukkan ummat manusia memanggil manggil para nabi dan rasul untuk minta pertolongan, bahkan Riwayat shahih Bukhari dijelaskan bahwa mereka berkata pada Adam, Wahai Adam, sungguh engkau adalah ayah dari semua manusai.. dst.. dst…dan Adam as berkata : “Diriku..diriku.., pergilah pada selainku.., hingga akhirnya mereka ber Istighatsah memanggil manggil Muhammad saw, dan Nabi saw sendiri yg menceritakan ini, dan riwayatnya shahih,
Wallahualam,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar